Oleh: Ari Susanto
Disusun Untuk Memenuhi Tugas: Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Amin Abdullah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas: Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Amin Abdullah
- Pendahuluan
Perbedaan
perspektif karena latar belakang dan faktor-faktor yang mempengaruhi
baik itu wawasan, pengalaman, kewarganegaraan, keyakinan, dan lain-lain
sebagainya dari setiap orang yang berbeda-beda, baik individu,
kelompok ataupun golongan, tidak akan pernah kita identikkan dengan
sesuatu hal yang bersifat negatif, akan tetapi “Enrichment perspektif”
(pengayaan cara pandang), karena perspektif tidak tunggal dan memang
harus melalui berbagai sudut pandang disiplin Ilmu Pengetahuan dan
teknologi dari setiap orang atau golongan yang berbeda-beda, dengan
catatan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Maka toleransi
dalam hal ini sangatlah diperlukan, itulah sebabnya kita hidup
bersosialisasi akan lebih baik secara ilmiah dan riset dari berbagai
perspektif untuk menyatakan dan menyimpulkan sesuatu dengan lebih baik.1
Agama
dan masyarakat itu ada dan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama
mempengaruhi jalannya masyarakat dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat
mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Pengaruh timbal-balik antara
keduanya merupakan kenyataan sosial-budaya yang menjadi tantangan untuk
dipahami seluas dan sedalam mungkin.2
Agama
sebagai ajaran yang memberi tuntunan hidup banyak dijadikan pilihan
karena ada indikasi dalam agama terdapat banyak nilai yang bisa
dimanfaatkan manusia ketimbang ideologi. Orang lebih leluasa memeluk
agama dan merasakan nilai positifnya tanpa harus capek-capek menggunakan
potensi akalnya. Agama memberi tempat bagi semua. Di kalangan kaum
akademisi dan aktivis sosial khususnya, agama saat ini tidak hanya
dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau sesuatu yang
bersifat normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai suatu case
study, studi kasus yang menarik bagaimana agama dilihat sebagai obyek
kajian untuk diteliti. Dalam perspektif budaya, agama dilihat bagaimana
sesuatu yang ilahi itu menghistoris (menyejarah) di dalam praktek
tafsir dan tindakan sosial, sehingga dengan demikian agama bukannya
sesuatu yang tak tersentuh (untouchable), namun sesuatu yang dapat
diobservasi dan dianalisis karena perilaku keberagamaan itu dapat
dilihat dan dirasakan. Terlebih di dalam masyarakat yang agamis seperti
Indonesia, yang menempatkan agama sebagai bagian dari identitas
ke-indonesia-an tentu ada banyak problem keagamaan yang menarik untuk
diungkap. Kita tidak akan pernah tahu rahasia agama dan keberagamaan
masyarakat bila kita tidak mampu melakukan penelitian atau kajian,
seperti mengapa seseorang itu menjadi sangat militan atau mengapa antar
komunitas agama saling berkonflik dan seterusnya.3
Makalah
ini lebih diutamakan pada masalah yang dimunculkan Abdul Rauf yang
memprotes sarjana barat dalam memperlakukan materi Islam dan
pandangannya bahwa non-Muslim bisa mengkaji sejarah Islam, misalnya,
jika mereka dapat mengkajinya secara jujur, tetapi bahwa mereka tidak
mengkaji asal-usul Islam, karena mereka tidak pernah memahaminya secara
benar.
- Pembahasan
Pendekatan
normatif dan historis tidak selamanya seirama, hubungan keduanya
seringkali diwarnai ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun
destruktif. Pendekatan normatif lantaran berangkat dari teks (kitab
suci) yang bercorak literalis, tekstualis dan skriptualis tidak
sepenuhnya menyetujui alternasi pemahaman yang dikemukakan oleh
pendekatan historis. Yang menurutnya bersifat reduksionis, yakni
pemahaman keagamaan yang hanya terbatas pada aspek eksternal-lahiriah
dari keberagamaan manusia dan kurang begitu memahami, menyelami dan
menyentuh aspek batiniah-eksoteris serta makna terdalam dan moralitas
yang dikandung oleh ajaran agama itu sendiri. Sedang pendekatan historis
yang lebih bersifat historis menuduh corak pendekatan normatif sebagai
jenis pendekatan dan pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat
absolutis, lantaran cenderung mengabsolutkan teks yang sudah tertulis,
tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang
melatarbelakangi berbagai teks keagaamaan yang ada. Pendekatan historis
ingin menggaris bawahi pentingnya telaah yang mendalam tentang asbab
al-nuzul, baik yang bersifat cultural, psikologis maupun sosiologis.4
Dalam hal ini ajaran Agama bisa kita kelompokkan menjadi dua.
Pertama, Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melelalui para rasul-Nya
kepada umat manusia terdapat dalam kitab-kitab suci agama.
Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan
penjelasan tentang arti (makna) dan cara pelaksanaannya. Ajaran dasar
agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak
benar, kekal, tidak berubah dan tidak dapat diubah.
Kedua,
Penjelasan-penjelasan pemuka atau pakar-pakar agama membentuk ajaran
agama. Penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya
merupakan penjelasan dan hasil pemikiran manusia, tidak bersifat
absolut, tidak mutlak benar dan tidak kekal, atau kebenaran penafsiran, sebagaimana kebenaran hasil penlitian ilmu pengetahuan, tidak bersifat mutlak pasti benar selamanya.
Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah
dan dapat diubah sesuai dengan tuntutan perkembangan ruang dan waktu.
Orang Dalam dan Orang Luar
Siapa
yang paling kompeten untuk bicara mengenai Islam, sarjana muslim
sendiri (insider) atau sarjana Barat dan para orientalis(outsider)?
Muhammad Abdul Rauf memberikan catatan bahwa banyak prasangka dan bahaya
dalam studi Islam yang dilakukan oleh Barat. Misalnya adalah analisis
studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka
intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural
supremacy).5
Sedangkan
Fazlur Rahman ingin menjelaskan maksud pendirian Abdul Rauf secara
lebih tepat. Rahman berpendapat bahwa laporan outsider tentang
pernyataan insider mengenai pengalaman agamanya sendiri bisa sebenar
laporan insider sendiri. Yang paling penting adalah kejujuran akademis
dalam memahami Islam. Namun harus dicatat pula bahwa kajian Islam dari
para outsider menyumbangkan gagasan-gagasan besar ilmiah yang memicu
gerakan intelektual dalam peradaban Islam. Lahirnya daya kritis Islam
lahir berkat kajian-kajian para outsider. Dengan cara berfikir kritis,
intelektual Muslim mengetahui problem yang sedang diderita sembari
mengusulkan pelbagai pemecahan yang harus dilakukan6
Problem
salah paham dan salah tafsir merupakan hal biasa dalam semua
pengalaman manusia, termasuk ilmu-ilmu alam, dimana seorang ilmuwan
bisa salah memahami atau menafsirkan eksperimennya. Untuk membuktikan
hasil-hasil ilmu yang salah relatif mudah karena kita bisa
memverifikasinya. Kemudian mengumpulkan data dan verifikasinya
difasilitasi oleh kenyataan bahwa obyek kajian tidak bersifat esoterik
tetapi publik, dan subyek studi “tidak berprasangka” dan terbuka,
sementara instrumen-instrumennya “dapat dipercaya.” Hampir tak satupun
syarat-syarat ini cukup ketika kita sampai pada kajian tentang
urusan-urusan manusia. Adalah fakta bahwa banyak perkara manusia dapat
dikaji, jika tidak secara mutlak benar, yang pasti dapat memuaskan.
Pernikahan dalam beberapa segi adalah masalah esoterik, tetapi juga
mempunyai aspek publik yang pengting dan dapat dilihat, dibandingkan
dan dipertentangkan, serta digeneralisasi untuk disesuaikan dengan
tujuan menerapkannya dalam kasus tertentu.7
Wilfred
Cantwell Smith menyatakan, sebuah pernyataan tentang suatu agama oleh
orang dapat dipandang benar (atau memadai) jika pengikut agama yang
bersangkutan mengatakan “ya” pada pernyataan tersebut. Dan sebagai
peringatan bahwa dikalangan agama-agama dengan ortodoksi yang
terdefinisi secara baik atau inti tradisi yang kongkret, bisa jadi ada
sebagian pengikutnya atau bahkan mayoritas menolaknya. Dapatkah fenomena
semacam ini diperlakukan hanya sebagai musuh keluarga?
Seperti
yang diungkapkan Jhon Wisdom di dalam Other Minds, menyatakan bahwa
suatu pengalaman mempunyai hak istimewa mengakses pengalamannya, yang
tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Ketika A mengatakan (yang
sesungguhnya), “saya sakit gigi,” dan ketika B melaporkannya pada C,
bahwa A sakit gigi, B jelas tidak merasakan sakit gigi yang dialami A.
Setidaknya B, jika ia pernah menderita sakit gigi, dapat membuat analogi
berdasarkan pengalamannya berdasakan A, dan demikian juga C. Tapi,
atas dasar ini, dapatkah kita terus mengatakan bahwa ketika A
mengatakan “saya sakit gigi,” dan B mengatakan pada C “A sakit gigi,”
dua proposisi ini tidak memiliki makna yang sama? Kebijaksanaan ini
akan menolak ini secara mutlak. Karena makna sebuah proposisi tidak
dapat dibuat relatif untuk memiliki atau tidak memiliki pengalaman
tertentu. A sakit gigi adalah sebuah fakta yang benar (atau salah)
secara universal tanpa memandang siapapun yang mengatakannya.8
Kenapa Jane smith meminta agar penelitian dilakukan oleh otsider?
Karena penelitian diharapkan dapat memperoleh beberapa makna “pemahaman”
lain dan “bermakna bagi orang lain.” Dan dalam kasus studi agama,
tampaknya lebih layak untuk mencita-citakan “pemahaman atau apresiasi
intelektual” dan ini memungkinkan baik bagi insider ataupun outsider
untuk menyepakati bahwa kita dapat saling belajar dari yang lainnya dan
upaya melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain merupakan idealisme
yang terhormat.
Syarat
pertama untuk pemahaman semacam ini adalah subyek yang meneliti tanpa
permusuhan atau prasangka terhadap obyek kajiannya, tetapi harus
terbuka, dan jika mungkin simpati. Prasangka tidak terbatas pada kondisi
keagamaan atau kondisi emosi orang lain. prasangka intelektual bisa
datang dalam bentuk paham-paham atau kategori-kategori prakonsepsi.
Sarjana yang terdidik dalam bidang tertentu secara khusus bertanggung
jawab atas prasangka ini. Kejujuran adalah obat mujarab bagi prasangka
intelektual yakni mengakui bahwa kategori-kategori dapat terus
berkembang. Sedangkan Perlakuan barat terhadap islam sebelum abad ke-19
menampakkan prasangka agama, sedangkan pada abad ke-19 hingga awal abad
20 menampakkan prasangka budaya dan intelektual.9
Pengetahuan
ilmiah bukanlah “pengalaman keagamaan” tetapi suatu “pengetahuan
(intelektual)” quasi ilmiah tentang pengalaman keagamaan dimana
normativitas atau otoritas pengalaman tidak berlaku, tetapi sesuatu
pengaruh dari langsungnya terhadap subyek yang mengalami (termasuk
laporan yang mengenainya) dapat dijaga dan diakses oleh orang lain.
Jelas tugas Muslim adalah mengemukakan Islam, Muslim dan non-Mulsim
secara pasti dapat bekerja sama Pada tingkat pemahaman intelektual.
Pernyataan yang lahir dari kerja sama semacam ini akan dipandang valid
bagi Muslim maupun non-Muslim. 10
Harus kita bedakan antara komunitas keagamaan sebagai pembawa budaya
keagamaan dengan kebenaran normatif atau aspek transenden agama.
Tapi,
yakinlah bahwa Islam juga mempunyai aspek transenden, sebuah aspek
yang belum dihargai dan masih merupakan buku yang terbuka: Komunitas
Muslim bisa menghargainya pada masa depan dan membuatnya menjadi bagian
dari kumulasi tradisi atau siapa pun orangnya dapat menghargainya bila
ia memeliharanya. Apakah Muslim lebih maju daripada orang lain karena
mereka sudah setia pada Islam, atau orang lain lebih maju daripada
Muslim karena Muslim dibatasi oleh tradisi yang sudah solid, adalah
sebuah persoalan yang terbuka dan sangat menarik.11
Earle
Waugh dalam pembukaan papernya pada Bab 3 buku ini mengenai "Muhammad
Sang Teladan," di mana ia berpendapat bahwa banyak Muslim yang taat
menolak untuk menerima deskripsi orang luar tentang kepercayaan mereka.
Dan sebagian sarjana meyakini normatif adalah apa yang diyakini Muslim
atau sebagian Muslim terdidik sebagai "Islam yang benar." Tentu saja
seorang Muslim dapat mengatakan bahwa apa yang ia yakini adalah apa yang
ia pikirkan sebagai Islam yang benar, sejati, tetapi ia tidak akan
pernah mengklaimnya sebagai Islam normatif karena ia siap mengakui bahwa
apa yang dipandang Islam sejati dan benar akan dinilai oleh al-Qur'an
dan Sunnah. Titik sandaran normatif ini, al-Qur'an dan sunnah, harus
memodifikasi pendekatan fenomenologis yang dengan cara lain cenderung
relativistik kronis. Kita sering diminta untuk menerima tradisi keilmuan
yang sangat ketat dan dogmatis sepanjang metode dan kategorinya
berjalan, bahkan yang memperturutkan Islam yang bebas,untuk semua pada
saat yang sama.12
Mengutip
dari pendapat Dr. Zakir Naik, bahwa al-Qur’an yang agung adalah sebuah
kitab terakhir yang diwahyukan kepada nabi terakhir yakni nabi
Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin, Para ilmuwan dunia juga
mengakui bahwa al-Qur’an bukanlah buatan manusia karena ketinggian dan
kesempurnaan susunan gaya bahasanya yang sudah di desain sesuai dengan
perkembangan zaman, di desain sedemikian rupa agar dijadikan sebagai
pedoman rahmatan lil alamin. Menurut beliau al-Qur’an bukanlah ilmu
pengetahuan, ia adalah kitab tentang tanda, tentang ayat-ayat, selain
tidak hanya dibaca juga untuk dipelajari, dan disana terdapat enam ribu
tanda ayat dalam al-Qur’an yang agung yang didalamnya ada lebih dari
seribu uraian tentang ilmu pengetahuan. Sepanjang kita berpikir logis
dan setelah penjelasan logis diberikan kepada kita, tak seorangpun yang
dapat membuktikan satu ayatpun dalam kitab suci al-Qur’an untuk
dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan modern.13
Budaya
menurut koenjaraningrat adalah keseluruhan system gagasan tindakan dan
hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik manusia dengan belajar.14 Budaya
yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan teks
(kitab) yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama
tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis,
budaya dan beberapa kondisi yan objektif. Faktor kondisi objektif
menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama
yang mengilhaminya adalah sama. Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa
agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya
dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk budaya yaitu
dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat dan adat istiadat.15
Sebagian peneliti berpendapat bahwa penelitian agama dan penelitian keagamaan adalah dua hal yang berbeda. Penelitian
agama (research on religion) adalah penelitian yang obyeknya adalah
sumber agama sebagai doktrin, yang dalam hal ini yaitu al-Qur’an dan
hadis.16 Dalam hal ini, obyek penelitianlah yang menjadi penentu metode suatu penelitian, bukan sebaliknya.17 Sedangkan
penelitian keagamaan (religious research) adalah penelitian yang
obyeknya tidak langsung mengenai doktrin agama, tapi menitik beratkan
pada agama sebagai sistem keagamaan dan nilai-nilai yang dilingkupinya
dan gejala-gejala yang terjadi seperti nilai kemanusiaan, kerukunan,
interaksi sosial dan seterusnya.
Penelitian
terhadap al-Qur’an bukan bermaksud mempertanyakan kebenaran al-Quran
sebagai wahyu ilahiyah, tetapi dengan mengkaji al-Qur’an diharapkan akan
melahirkan sejumlah bidang keilmuan. Kajian
itu meliputi proses turunnya al-Qur’an, termasuk faktor sosiologis dan
kultural masyarakat pada saat al-Qur’an diturunkan. Kajian ini
melibatkan ilmu antropologi, sosiologi, sejarah, dan lainnya.
Menurut
Syafii Maarif, al-Qur’an memegang posisi utama dalam studi keislaman.
Fungsinya secara garis besar terbagi dua, yaitu sebagai sumber
inspirasi dan dorongan berpikir kreatif, dan sebagai furqan (permisah
antara sesuatu yang haq dan yang bathil). Al-Qur’an menurutnya
mengandung dua macam realitas, yakni realitas yang dapat didekati
secara empiris (lewat eksperimen dan observasi), dan realitas yang
berada di luar jangkauan indra manusia, karena bersifat metafisik.
Maka, untuk realitas yang kedua ini, pendekatan yang digunakan adalah
keimanan. Berangkat dari dua realitas dan dihubungkan dengan kehidupan
modern, maka ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi dan
sejarah mempunyai peran yang sangat signifikan untuk memahami
doktrin-doktrin al-Qur’an.18
Seorang
tokoh islam yang berasal dari India bernama Dr. Zakir Naik yang telah
banyak menulis buku diantaranya adalah al-Qur’an & Modern
Science, beliau berpendapat bahwa wahyu Tuhan tidak mungkin mengandung
kesalahan ilmiah. al-Qur’an dalam hal ini Sepanjang kita berpikir logis
dan setelah penjelasan logis diberikan kepada kita, tak seorangpun yang
dapat membuktikan satu ayatpun dalam kitab suci al-Qur’an untuk
dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan modern “Yang salah adalah
pemahamannya”19
Demikian
halnya dengan penelitian terhadap hadis Nabi. Riwayat-riwayat hadis
yang tersebar dalam berbagai kitab hadis memerlukan penelitian yang
sangat serius terhadap sanad dan matannya untuk membuktikan bahwa
riwayat itu betul-betul berasal dari Nabi. Kajian terhadap
riwayat-riwayat tersebut membutuhkan pendekatan dari berbagai disiplin
ilmu, seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu yang lain.
Dengan demikian, al-Quran dan hadis tidak lagi hanya dipahami sebagai
dogma ilahiyah-nabawiyah semata, tapi dapat dijadikan sebagai sumber
teori yang dapat menginspirasi dan mendorong umatnya untuk berpikir
kreatif.20
Mungkin
benar jika “umat” Islam berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadis, dan
meyakini Nabi Muhammad sebagai sang teladan, akan tetapi hal ini tidak
diharapkan umat Islam tertutup dengan apapun selain itu. dan menganggap
al-Qur’an, Hadis, dan Nabi Muhammad sang teladan adalah kitab dan
pemimpin satu-satunya. Dalam hal ini mungkin bisa diibaratkan seperti
seekor ayam, jika yang dikeluarkan adalah telur, maka hal itu mungkin
baik dan semestinya harus kita ambil untuk dimakan, tapi jika yang
dikeluarkan oleh seekor ayam adalah berbentuk kotoran, maka hal itu
tidak seharusnya kita ambil untuk dimakan demi kebaikan. Karena mungkin
kita semua yakin bahwa umat Islam sebenarnya tidak mau untuk dikatakan
sebagai umat yang tertutup dan bersifat normatif, akan tetapi umat
Islam adalah umat yang terbuka dan akan terus selalu menumbuh
kembangkan dan memajukan umat Islam itu sendiri.
Pembahasan
ini jangan dipahami sebagai pemahaman yang besifat tidak jelas hingga
dipahami sebagai pemahaman yang tidak bertujuan untuk membenarkan
ataupun menolaknya. Terutama dalam kehidupan umat Islam yang saat ini
relatif terpuruk jika dibandingkan dengan umat beragama lain, hal ini
tidak lepas dari aspek sejarah. Dari perspektif sejarah kehidupan umat
Islam mengalami pasang surut, naik turun, dan bergelombang. Tidak
sedikit dari beberapa tokoh kalangan umat Islam sendiri yang mengatakan
bahwa “Umat Islam sekarang benar-benar terpuruk dan terhina”, baik
secara fisik maupun mental. Citra umat Islam selalu dipojokkan dengan
sebutan agresif, destruktif, ekstrimis, eksklusif, mengingkari hukum,
teroris, biadab, fanatik, fundamentalis, dan dunianya selalu dipenuhi
dengan pertentangan, perpecahan, dan peperangan serta diklaim sebagai
dunia yang sakit21.
Dengan pembahasan ini diharapkan dapat memperoleh beberapa makna
“pemahaman” lain dan “bermakna bagi orang lain.” Dan dalam kasus studi
agama, tampaknya lebih layak untuk mencita-citakan “pemahaman atau
apresiasi intelektual” dan ini memungkinkan baik dan berguna bagi
penganut agama tersebut ataupun secara universal untuk menyepakati bahwa
kita dapat saling belajar dari yang lainnya. Dan kita tidak akan
menyebut pembahasan ini sebagai pembahasan yang hanya terus mengkaji dan
memunculkan kelemahan-kelemahan dan hal-hal yang bersifat memojokkan
citra umat Islam yang di khawatirkan keyakinan umat Islam akan memudar
dan juga ragu terhadap ajaran-jaran Agamanya, kemudian akan menimbulkan
sifat pesimis dikalangan Islam sendiri, dan lain-lain sebagainya kalau
hanya memunculkan salah satu sisi kelamahannya saja, mungkin bisa
dikatakan “iya” jika kita hanya melihat sisi pembahasan ini secara
sekilas, tapi sebenarnya sangat baik dan berguna jika kita bisa memahami
maksud dari pembahasan ini secara menyeluruh. Dan mungkin juga benar
jika selain kita mengkaji kelemahan-kelemahan juga akan lebih baik
apabila kita juga mengkaji kelebihan-kelebihannya agar lebih seimbang.
Memiliki
sikap toleransi, terbuka, berpandangan luas, memiliki pengetahuan
rasional yang tinggi dan seimbang dengan pengetahuan agama adalah sangat
dibutuhkan untuk lebih dapat memahami suatu agama dari berbagai sudut
pandang, baik dari kalangan orang dalam sendiri maupun dari kalangan
luar, dengan catatan harus sesuai dengan ketentuannya demi mengembangkan
dan memajukan umat Islam.
Terbentuk
atau tidaknya suatu pemahaman yang menghasilkan perspektif yang diakui
orang dalam ataupun orang luar dari berbagai sudut pandang, baik itu
mengkaji dan memaparkan kelebihan-kelebihannya ataupun
kekurang-kekurangannya pada kajian studi agama sedikit banyaknya tidak
akan pernah lepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dan hal-hal
yang mempengaruhi terbentuk atau tidaknya suatu pemahaman yang
diharapkan para penganut agama tersebut atau dari kalangan luar adalah
salah satu hal yang sangat berpotensi besar untuk menjadi sumber
“motivasi” guna terbentuknya suatu pemahaman tersebut.
- Kesimpulan
Hal-hal
yang mempengaruhi terbentuk atau tidaknya suatu pemahaman, yang
diharapkan sesuai dengan para penganut agama tersebut ataupun secara
universal adalah salah satu hal yang sangat berpotensi besar untuk
menjadi sumber “motivasi” guna terbentuknya suatu pemahaman tersebut.
Kurang
atau tidak adanya kerjasama proporsional antara wahyu dengan akal
berkaitan dengan interpretasi, pada gilirannya dapat melahirkan
pasangan-pasangan pilihan yang berlawanan. Misalnya, cara pemahaman
tekstual dan kontekstual, jalan Ilahi dan jalan keduniaan, pilihan
antara idealis dan realis, dan lain sebagainya. Dan cara demikian
menghasilkan pemahaman yang bersifat parsial.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, 2010, Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama (SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, edisi revisi)
Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam,dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metode Penelitian Agama; Sebuah Pengantar
Asifudin, Janan, Ahmad, 2004, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah University Press, Cet, pertama)
Mattulada, Penelitian Berbagai Aspek Keagamaan, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama
Naik, Zakir, 2000, Video Debat Kristologi Terseru al-Qur’an dan Injil dalam Mengupas Ilmu Pengetahuan (ICNA Islamic Circle of North America Chicago, U.S.A.)
Pertemuan perkuliahan, 2011, Pendekatan Dalam Pengkajian Islam dengan Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah.
Raji al-Faruqi, 1989, Islamization of Knowledge, The International Institute of Islamic Thought, United States of America
Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam
Sutrisno, 2008, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan (Yogyakarta: Kota Kembang, cetakan ke II)
Tashakkori, Abbas, & Teddlie, Charles, Mengombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif
____________________________________________________________
1 Pertemuan perkuliahan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam dengan Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah 11 Maret 2011
2 Mattulada, Penelitian Berbagai Aspek Keagamaan, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama, hal. 55-57
3 Abdur Razaki, Penelitian Dalam Perspektif Budaya, makalah disampaikan pada Studium General yang diselenggarakan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 14 Mei 2005
4 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, hal. v.
5 Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam, hal. 237-248
6 Ibid, hal.. 249-266
7 Amin Abdullah. Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama (SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, edisi revisi 2010) hal. 202
8 Ibid, hal. 203
9 Ibid hal. 205
10 Ibid, hal. 206
11 Amin Abdullah. Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama (SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, edisi revisi 2010) hal. 207
12 Ibid, hal. 210
13 Zakir Naik, berasal dari India dalam ICNA
Islamic Circle of North America Chicago, U.S.A. Debat Kristologi
Terseru al-Qur’an dan Injil dalam Mengupas Ilmu Pengetahuan
15 Ibid,
16 A. Ludjito, Mengapa Penelitian Agama, dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah Dan Pemikiran, hal. 18
17 Mattulada, Studi Islam Kontemporer, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metode Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, hal. 4
18 Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam,dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metode Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, hal. 130
19 Zakir Naik, berasal dari India dalam ICNA
Islamic Circle of North America Chicago, U.S.A. Debat Kristologi
Terseru al-Qur’an dan Injil dalam Mengupas Ilmu Pengetahuan
20 Ibid,
21 Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan (Yogyakarta:
Kota Kembang, cetakan ke II, Mei 2008), hal. 1. Lihat juga Ismail
Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, The International Institute
of Islamic Thought, United States of America, 1989, hal 1