(Tinjauan Teoritis Lembaga Pendidikan Yang Sulit Berkembeng)
Oleh:Ari Susanto
A. Pendahuluan
Pepatah mengatakan bahwa sesuatu yang paling abadi di dunia adalah perubahan. Tiada sesuatu yang bertahan statis di dunia ini, segalanya mengalami perubahan, demikian pula halnya dengan kondisi masyarakat juaga mengalami perubahan, itulah sebabnya setiap organisasi/lembaga termasuk sekolah/madrasah juga harus memiliki kemampuan untuk berubah. Hanya perubahan itu sendirilah yang akan abadi.[1]
Perubahan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Perubahan merupakan bagian yang sangat penting dari suatu organisasi. Dimulai oleh dunia usaha yang lebih dulu menyadari pentingnya perubahan bagi peningkatan kualitas produksi yang dihasilkan. Berbagai upaya dan pendekatan telah dilakukan untuk memecahkan masalah yang timbul akibat adanya perubahan.
Perubahan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa usia organisasi tidak akan bertahan lama. Perubahan bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan jaman, kemajuan teknologi adalah peningkatan pola perubahan organisasi menuju perkembangan yang berkualitas
Melihat pentingnya fungsi manajemen perubahan, artinya memahami dan menerapkan strategi untuk melakukan perubahan dan perkembangan kehidupan khususnya dimulai dari dunia pendidikan yang menjadi salah satu faktor akan berubahnya sosial, ekonomi, dan lain sebagainya dalam suatu negara.
B. Definisi Perubahan dan Manajemen Perubahan
1. Definisi Perubahan
Jeff Davidson menjelaskan bahwa perubahan merujuk pada sebuah terjadinya sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan bisa juga bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru, memasang sistem baru, mengikuti prosedur-prosedur manajemen baru, penggabungan, melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa yang bersifat mengganggu yang sangat signifikan. Rumusan perubahan yang diungkapkan oleh Davidson tersebut, bahwa perubahan organisasi termasuk lembaga pendidikan tinggi bisa terjadi diberbagai aspek kehidupan organisasi.[2]
Michel Beer menyatakan berubah itu adalah memilih tindakan yang berbeda dari sebelumnya, perbedaan itulah yang menghasilkan suatu perubahan. Jika pilihan hasilnya sama dengan yang sebelumnya berarti akan memperkuat status yang ada.[3] Selanjutnya Winardi menyatakan, bahwa perubahan organisasi adalah tindakan beralihnya sesuatu organisasi dari kondisi yang berlaku kini menuju ke kondisi masa yang akan datang menurut yang di inginkan guna meningkatkan efektivitasnya.[4] Sejalan dengan itu Anne Maria berpendapat, bahwa perubahan organisasi adalah suatu tindakan menyusun kembali komponen-komponen organisasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi. Mengingat begitu pentingnya perubahan dalam lingkungan yang bergerak cepat sudah saatnya organisasi tidak menunda perubahan, penundaan berarti akan menghadapkan organisasi pada proses kemunduran.
Potts dan LaMarsh melihat bahwa perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang suatu organisasi menuju keadaan yang diinginkan di masa depan. Perubahan dari keadaan sekarang tersebut dilihat dari sudut struktur, proses, orang dan budaya. Perubahan lembaga menurut Potts dan LaMarsh dibatasi pada aspek struktur organisasi, proses, orang dan budaya organisasi.[5]
2. Definisi Manajemen Perubahan
Manajemen Perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam organisasi. Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut. Manajemen perubahan merupakan suatu proses secara sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari perubahan tesebut.[6]
C. Teori dan Menajemen Perubahan
Teori dan praktek manajemen perubahan melibatkan banyak disiplin serta tradisi ilmu-ilmu sosial. Manajemen Perubahan bukanlah suatu disiplin ilmu terpisah dengan batasan-batasan kaku yang terdefinisikan dengan jelas. Masalahnya kemudian semakin dipersulit lagi karena kesalingterkaitan ilmu-ilmu sosial itu sendiri. Misalnya, teori pembelajaran, yang membantu kita memahami perilaku mereka yang mengelola perubahan, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya tanpa kita mengacu ilmu psikologi.
Setiap organisasi dituntut memiliki kemampuan untuk berubah sebelum organisasi tersebut dalam hal ini lembaga mengalami penurunan kinerja atau mati. Terdapat tiga waktu perubahan yang harus dipilih untuk memperpanjang hidupnya. Dan pilihan ketiga waktu tersebut akan memiliki konsekuensi yang berbeda.
Pertama adalah pilihan yang paling baik, namun sering kali sulit untuk dilaksanakan, karena membutuhkan pemimpin yang memiliki sifat visioner. Perubahan dilakukan secara evolusioner pada saat organisasi sedang dalam masa-masa kejayaan. Jika organisasi melaksanakan perubahan pada saat ini tidak dibutuhkan energi yang sangat besar, karena performa organisasi dalam keaadaan sangat baik, organisasi dalam keadaan kaya sehingga kebutuhan dana untuk melakukan perubahan dengan mudah dapat dipenuhi, kepercayaan lingkungan eksternal sangat tinggi, semangat kerja para SDM juga sangat baik, namun pemimpin harus meyakinkan kepada seluruh SDM dalam organisasi atau lembaga bahwa perubahan harus dilakukan.
Kedua adalah waktu perubahan yang dipilih disadari ketika organisasi mulai mengalami penurunan kinerja. Perbahan ini disebut dengan turnaround. Organisasi sudah harus mengalami perubahan, jika tidak ingin penurunan kinerja organisasi akan terus berlangsung dan kemudian mengalami kematian. Pada saat ini, organisasi harus menjalankan disiplin yang tinggi untuk memastikan bahwa perubahan sudah pada arah yang benar. Pemimpin organisasi harus bekerja keras untuk mengawal proses perubahan, karena pada saat ini organisasi sudah mengalami penrunan, namun demikian kepercayaan masyarakat atau beberapa factor kunci masih dapat diandalkan untuk kehidupan organisasi. Walaupun mungkin ada beberapa tantangan dari internal, namun lebih mudah bagi pemimpin organisasi untuk meyakinkan seluruh komponen organisasi agar melakukan perubahan dibandingkan dengan organisasi menjalankan perubahan pada saat organisasi menuju puncak kejayaan. Energi yang digunakan lebih besar, karena beberapa komponen mungkin sudah tidak dalam keadaan peak performance, anggaran mungkin sudah mulai turun, samangat SDM sudah mulai kendur, sumber daya sudah mulai banyak yang kadaluwarsa, tetapi kepercayaan masyarakat masih tinggi, stakeholder potential masih setia menggunakan jasa dan produk dari lembaga tersebut.
Ketiga adalah waktu perubahan yang dilakukan organisasi ketika organisasi tersebut telah mengalami kebangkrutan dan hamper mati (bangkrut). Perubahan yang dilakukan pada saat ini adalah perubahan yang paling berat. Perubahan yang dilakukan pada tahap ini sudah termasuk dalam manajemen krisis. Pada saat ini, organisasi sudah diibaratkan memiliki penyakit yang sangat kronis. Produk atau layanan organisasi tersebut sudah tidak kompetitif lagi. Sumber daya yang ada sudah kadaluwarsa, SDM sudah tidak memiliki semangat lagi untuk bekerja, dan iklim organisasi sudah tidak sehat. Namun masih ada harapan, karena produk atau jasa sejenis yang dihasilkan oleh organisasi tersebut, jika dihasilkan dengan lebih baik masih menjadi kebutuhan masyarakat. Dibutuhkan pemimpin perubahan dengan empat kekuatan, yaitu visioner, realistis, mencintai pekerjaannya dan pemberani, serta memiliki etika yang baik. Kedisiplinan yang tinggi dan ketepatan mengambil prioritas sngat penting, karena sumber daya organisasi yang sangat terbatas.[7]
Perkembangan kebutuhan dan harapan stakeholder sangat cepat berubah seiring dengan perubahan berbagai kondisi makro di masyarakat, sehingga menuntut sekola/madrasahh juga harus mampu berubah. Misalnya, perubahan setelah era reformasi ditandai dari pengelolaan yang bersifat sentralistis menuju arah desentralisasi membuat pemerintah meluncurkan berbagai paket kebijakan semisal Manajemen Berbasis Sekola/MBS (School Based Management) atau Sekolah Berbasis Masyarakat (School Based Community), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan, dan lain sebagainya.
Perubahan tetang selera masyarakat terhadap pendidikan juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya madrasah hanya dituntut menghasilkan lulusan lebih menguasai ilmu agama dibandingkan dengan ilmu umu, namun sekarang banyak masyarakat menginginkan madrasah menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu agama maupun ilmu umum. Hingga banyak orang tua siswa yang menginginkan anaknya menjadi dokter yang ulama atau ulama yang dokter, guru, insinyur, teknokrat dan lain sebagai yang juga menguasai ilmu agama dengan baik.[8]
Karena perubahan yang paling mendasar tersebut sering kali berkaitan dengan cara piker/cara pandang/perspektif, maka komponen penting dalam perubahan yang harus diutamakan adalah manusia. Adapun sekolah yang baik memiliki indicator-indikator: 1) memiliki prestasi akademik dan non akademik di atas rata-rata sekola/madrasah di daerah tersebut; 2) sarana dan prasarana serta layanan yang lebih lengkap; 3) system belajar yang lebih baik dan waktu belajar yang mebih panjang; 4) melakukan seleksi yang cukup ketat terhadap pendaftar; 5) mendapatkan animo yang besaar dari masyarakat, yang dibuktikan dengan jumlah pendaftar dibandingkan kelas; dan 6) biaya sekolah/madrasah lebih tinggi dari sekolah/madrasah disekitarnya.[9]
Berkaitan dengan sekolah unggul ditegaskan dalam Dekdikbud (1994), yang meliputi;
a. Masukan (input), yaitu siswa yang diseleksi secara ketat dengan menggunakan criteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan: 1) prestasi belajar superior dengan indikator angka rapor, nilai ebtanas murni (NEM), dan hasil tes prestasi akademik; 2) skor psikotes yang meliputi inteligensi dan kreatifitas; dan 3) tes fisik, jika diperlukan.
b. Sarana dan prasana yang menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa serta menyalurkan minat dan bakatnya.
c. Guru dan tenaga kependidikan yang menangani harus unggul baik dari segi penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, maupun komitmen dalam melaksanakan tugas.
d. Lingkungan belajar yang kondusif, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-psikologis.
e. Kurikulumnya diperkaya dengan pengembangan dan improvisasi secara maksimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar serta motivasi belajar yang lebih tinggi.
f. Kurun waktu belajar lebih lama disbanding sekolah/madrasah lain.
g. Prosoes belajar mengajar harus berkualitas dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan baik kepada siswa, lembaga, maupun masyarakat.
h. Sekolah unggul harus memiliki resonansi social kepada lingkungan sekitarnya.
i. Nilai lebih sekolah/madrasah yang unggul terletak pada perlakuan tambahan di luar kurikulum nasional melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan dan perluasan, pengajaran remedial, pembinaan krativitas dan disiplin.[10]
Dilihat dari proses tersebut, bahwa untuk menjadi sekolah/madrasah unggul, harus memiliki kemampuan untuk berubah. Sekolah/madrasah yang baik merupakan sekolah/madrasah yang mampu menghantar siswa sesuai dengan yang dicanangkan dalam visi sekolah/madrasah. Visi sekolah/madrasah yang baik merupakan visi yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan stakeholder, kebutuhan dan harapan stakeholder merupakan sesuatu yang berubah-ubah, bahkan perubahan tersebut dapat berlangsung cepat. Namun demikian, ada kalanya sekolah/madrasah tidak hanya memenuhi kebutuhan stakeholder saja, akan tetapi memengaruhi kebutuhan stakeholder. Misalnya, sekolah/madrasah memengaruhi kebutuhan dan harapan stakeholder berkaitan dengan pentingnya iptek dan IMTAQ yang dihasilkan bersamaan. Proses tersebut dilakukan secara simultan dengan menghasilkan berbagai produk/layanan sekolah/madrasah yang inovatif.
Perubahan terjadi sepanjang hidup. Sekolah/madrasah berkembang artinya menjadi lebih baik dan perubahan itu melibatkan banyak pihak, tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua, dan masyarakat sekitar. Tugas kepala sekola/madrasah adalah sebagai agen perubahan (change agent) yang mendorong dan mengelola agar semua pihak termotivasi dan berperan aktif dalam perubahan tersebut.
Catalyst berperan meyakinkan orang lain tentang perlunya perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Misalnya kepala sekolah/madrasah meyakinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam membina kepribasian peserta didik.
Solution govers berperan mengingatkan terhadap tujuan akhir dari perubahan. Metode dan strategi boleh berubah, tetapi tujuan akhir harus tetap dipertahankan.
Process helpers berperan membantu kelancaran proses perubahan, khususnya menyelesaikan masalah, dan membina hubungan antara pihak-pihak terkait. Misalnya mendorong partisipasi masyarakat dan orang tua dalam melakukan penilaian terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah/madrasah.
Resource linkers berperan menghubungkan orang dengan sumber dana yang diperlukan. Misalnya menghubungkan sekolah/madrasah dengan dunia usaha (usahawan) yang ada disekitarnya.
Selanjutnya Havelock berpendapat mengenai “Agen perubahan sebagai proses helper” antara lain: Membangun hubungan, mendiagnosis masalah, mendapatkan sumber-sumber yang relevan, memilih solusi yang tepat, memperoleh penerimaan, menstabilkan dan memperbaharui diri.
Manajemen perubahan juga bisa dilakukan dengan beberapa tahap antara lain, yaitu: 1) tahap identifikasi perubahan, diharapkan seseorang dapat mengenal perubahan apa yang akan dilakukan/terjadi. Dalam tahap ini seseorang atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan mengidentifikasi tipe perubahan; 2) tahap perencanaan perubahan. Pada tahap ini harus dianalisis mengenai diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi umum, dan pemilihan. Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya faktor pendukung sehingga perubahan dapat terjadi dengan baik; 3) tahap implementasi, dan monitoring perubahan; 4) tahap evaluasi dan umpan balik. Untuk melakukan evaluaasi diperlukan data, oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data dan evaluasi data tersebut. Hasil evaluasi ini dapat di umpan balik kepada tahap 1 sehingga memberi dampak pada perubahan yang diinginkan berikutnya.
Pengaruh adalah hubungan timbal balik antara pemimpin dengan pengikut dengan maksud dan harapan terjadi perubahan yang berarti sebagai hasil dari tujuan bersama. Pemimpin mempengaruhi bawahan dan juga bawahan dapat mempengaruhi pemimpin, Kemudian unsur tanggungjawab pribadi dan integritas menunjukkan adanya tanggung jawab antara pimpinan dan orang-orang yang ada dalam organisasi harus sama-sama mempunyai tanggung jawab penuh untuk mencapai tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Beer, Michael, 2002, Breaking the Code of Change , USA : President and Fellow of Harvard College .
Davidson, Jeff, 2005, Change Management, The Complete Ideal’s Duides, Jakarta : Prenada.
Muhaimin dkk, 2010, Manajemen Pendidikan, Jakarta : Fajar Interpratama Offset.
Mulyasa. E, 2007, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Potts, Rebecca and LaMarsh, 2004, Managing for Success, London : Duncan Baird Publishers.
Wibowo, 2006, Pengantar Manajemen Perubahan, Pemahaman Tentang Mengelola Perubahan dalam Manajemen, Bandung : LFABETA.
Winardi, Prof.Dr.J., S.E., Manajemen Perubahan, Prenada Media, Jakarta , 2005.
[1] Muhaimin dkk, Manajemen Pendidikan, (Jakarta :Fajar Interpratama Offset, 2010), hlm. 65
[2] Jeff Davidson, Change Management, The Complete Ideal’s Duides, (Jakarta : Prenada, 2005), hlm. 3
[3] Michael Beer, Breaking the Code of Change, (USA : President and Fellow of Harvard College, 2002), hlm. 452
[4] Winardi, Manajemen Perubahan, (Jakarta : Prenada Media, 2005), hlm. 2
[5] Rebecca Potts and LaMarsh, Managing for Success, (London : Duncan Baird Publishers, 2004), hlm. 36
[6] Wibowo, Pengantar Manajemen Perubahan, Pemahaman Tentang Mengelola Perubahan dalam Manajemen, (Bandung : Lfabeta, 2006), hlm. 36
[7] Muhaimin dkk, manajemen pendidikan, fajar interpratama offset, Jakarta , 2010. hlm. 67-68
[8] Ibid.., hlm. 69
[9] Ibid.., hlm. 70
[10] Ibid.., hlm. 71-72
[11] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 181-185