Oleh: Ari Susanto
(Makalah Waktu s1)
A. Pendahuluan
Fiqih menurut bahasa artinya mengerti atau faham, sedangkan menurut istilah artinya pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui jalan ijtihad. Contohnya adalah pengetahuan tentang wajibnya niat dalam ber-wudhu, difahami dari sabda Rasulullah SAW., “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, …”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang tanpa melalui jalan ijtihad tidak disebut fiqih, seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina dan khomer tidaklah disebut fiqih karena pengetahuan tentang itu tidak melalui jalan ijtihad.
Sesungguhnya perbedaan pendapat sudah ada sejak zaman dahulu, sejak masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam-imam mujtahid, bahkan sejak masa Rasulullah masih hidup. Dan perbedaan pendapat yang ada tidak menjadikan mereka berpecah belah. Apakah yang menyebabkan perbedaan pendapat bisa terjadi? Dan bagaimanakah kita harus menyikapi perbedaan pendapat itu?
B. Pembahasan
1. Prioritas Perkara Pokok Atas Perkara Cabang
Perhatian utama yang harus kita berikan dalam perkara yang diperintahkan ini ialah memberikan prioritas kepada perkara pokok atas cabang. Yaitu mendahulukan perkara-perkara pokok, mendahulukan hal-hal yang berkaitan dengan iman dan tauhid kepada Allah, iman kepada para malaikatNya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir; yang dikatakan sebagai rukun iman sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an:
§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur … ÇÊÐÐÈ
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …”. (Al-Baqarah:177)'
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur w ä-ÌhxÿçR ú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ß 4 (#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy $oY÷èsÛr&ur ( y7tR#tøÿäî $oY/u øs9Î)ur çÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ
Artinya : “Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”. (Al-Baqarah: 285)
`tBur… öàÿõ3t «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
Artinya : “…barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa': 136)
Tidak ada ayat yang menyebutkan iman kepada takdir sekaligus memasukkannya ke dalam pokok aqidah, karena sesungguhnya iman kepada takdir ini sudah termasuk di dalam iman kepada Allah SWT. Iman kepada takdir merupakan bagian dari iman kepada kesempurnaan Ilahi, ilmu-Nya yang meliputi segalanya, kehendak-Nya yang luas, dan kekuasaan-Nya yang pasti Aqidah adalah masalah pokok, sedang syari'ah adalah perkara cabang. Iman adalah perkara pokok, sedangkan amalan merupakan perkara cabang.
Kami tidak ingin memperpanjang perbincangan para ahli ilmu kalam di sekitar hubungan amal dan iman, apakah amal merupakan bagian dari iman, ataukah dia merupakan buah darinya? Apakah iman merupakan syarat bagi terwujudnya amal sekaligus bukti bagi kesempurnaannya?
Keimanan yang benar harus membuahkan amalan. Sejauh keimanan yang dimiliki oleh seseorang, maka akan sejauh itu pula amal perbuatannya, dan sejauh itu pula dia melakukan perintah yang diberikan kepadanya, serta menjauhi larangannya.
Amal perbuatan yang tidak dilandasi dengan iman yang benar tidak akan ada nilainya di sisi Allah SWT; sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an berikut ini:
… ¥>#uy£x. 7pyèÉ)Î/ çmç7|¡øts ãb$t«ôJ©à9$# ¹ä!$tB #Ó¨Lym #sÎ) ¼çnuä!$y_ óOs9 çnôÅgs $\«øx© yy`urur ©!$# ¼çnyZÏã çm9©ùuqsù ¼çmt/$|¡Ïm 3 ª!$#ur ßìÎ| É>$|¡Ïtø:$# ÇÌÒÈ
Artinya : “…laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (An-Nur: 39).
Oleh karena itu, perkara paling utama untuk didahulukan dan harus diberi perhatian yang lebih daripada yang lainnya adalah meluruskan aqidah, memurnikan tauhid, memberantas kemusyrikan dan khurafat, mengokohkan benih-benih keimanan dalam hati, sehingga membuahkan hasil yang bisa dinikmati dengan izin dari tuhannya, yang akhirnya kalimat tauhid "La ilaha illa Allah" dapat bersemayam di dalam jiwa, menjadi cahaya hidup, menerangi gelapnya pemikiran manusia dan kegelapan perilakunya.
Al-Muhaqqiq Ibn al-Qayyim berkata, "Ketahuilah bahwa pancaran sinar 'La ilaha illa Allah' akan dapat menghancurkan noda-noda dosa sesuai dengan kadar kekuatan dan kelemahan pancaran cahaya itu. Orang yang memiliki pancaran cahaya inipun bermacam-macam kekuatan dan kelemahannya, dan tidak akan ada orang yang dapat menghitungnya kecuali Allah SWT.. Di antara manusia terpadat orang yang memiliki cahaya itu di dalam hatinya bagaikan matahari; ada yang cahaya di dalam hatinya itu bagaikan bintang; ada cahaya yang bagaikan api yang membara; ada yang seperti lentera; dan yang terakhir sekali bagaikan lampu yang sangat lemah sinarnya."
Oleh karena itu, pada hari kiamat kelak cahaya-cahaya itu akan tampak sesuai dengan kadar keimanan yang dimiliki oleh manusia. Cahaya itu akan memancar sesuai dengan ilmu dan amal, makrifat dan keadaan cahaya kalimat yang memancar dari hati manusia.
Semakin besar pancaran cahaya kalimat itu di dalam hati manusia, maka ia akan membakar segala bentuk syubhat dan hawa nafsu sesuai dengan kekuatannya. Sehingga kadar pembakaran itu sampai kepada tingkat pembersihan yang sangat sempurna terhadap syubhat dan syahwat; yang pada akhirnya tidak ada dosa kecuali dosa itu akan dibakar olehnya. Itulah keadaan
orang yang tauhidnya benar, yang tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Allah SWT.. Siapa yang memahami makna uraian tersebut, maka dia akan mengetahui makna sabda Nabi saw. yang artinya :
"Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah, semata-mata untuk mencapai keridhaan-Nya."
"Tidak akan masuk api neraka orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah,"
Dan juga sabda-sabda beliau yang lainnya yang banyak membuat kemusykilan bagi manusia, sehingga mereka menduga bahwa hadits-hadits itu telah dihapuskan. Ada pula yang menyangka bahwa hadits-hadits itu diturunkan sebelum turunnya perintah dan larangan, serta mapannya syari'ah ini. Sebagian yang lain mengartikannya api kaum musyrik dan kafir. Dan ada pula yang mentakwilkan dengan masuk selama-lamanya ke dalam neraka, dan berkata, "Maknanya ialah tidak memasuki neraka tersebut selama-lamanya." Dan lain-lain pentakwilan yang kurang menyenangkan.
Penetapan syari'ah agama ini, Nabi saw. tidak menjadikan hal itu bisa dicapai dengan hanya mengucapkan melalui lidah saja. Dan inilah yang sepatutnya diketahui oleh orang banyak ketika mereka menjalankan ajaran agama ini. Kalimat itu harus diucapkan melalui hati dan lidah. Ucapan melalui hati ini mencakup pengetahuan, pembenaran terhadap kalimat tersebut, dan pengetahuan terhadap hakikat yang dikandungnya. Ada yang dinafikan dan ada yang ditetapkan. Seseorang mesti mengetahui hakikat Ilahiah yang harus dinafikan dari selain Allah, karena ia hanya kbusus bagi-Nya; serta ada sesuatu yang sangat mustahil dimiliki oleh sesuatu selain Allah SWT. Wujudnya makna seperti ini di dalam hati secara ilmu, ma'rifah, keyakinan dan kenyataan sudah pasti dapat menyelamatkan orang yang mengucapkannya dari api neraka.
Orang yang mengucapkan kalimat ini dengan lidahnya, tidak memperhatikan maknanya, dan tidak menghayatinya, dan ucapan lidahnya tidak sampai kepada hatinya, tidak mengetahui kadar dan hakikatnya, tetapi dia mengharapkan pahala darinya, maka dia hanya akan diperhitungkan berdasarkan apa yang terdapat di dalam hatinya. Karena sesungguhnya semua amal perbuatan tidak akan diberi keutamaan dari segi bentuk luarnya dan kuantitasnya. Amal buatan manusia akan diperhitungkan menurut keyakinan yang telah ada di dalam hatinya. Dua hal ini (bentuk luar dan keyakinan dalam hati) akan dihitung sebagai satu kesatuan. Perbedaan di antara kedua hal ini adalah bagaikan langit dan bumi. Sebagaimana adanya dua orang yang shalat pada satu baris, tetap kedudukan shalat mereka berbeda seperti langit dan bumi.
2. Prioritas Ilmu Atas Amal
Di antara pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atasamal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya”.
Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu dalam Jami' Shahih-nya, dengan judul ”Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan”. Para pemberi syarah atas buku ini menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan seseorang. Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah yang membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan dilakukan. Mereka mengatakan: "Bukhari ingin mengingatkan orang kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat kecuali disertai dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya”.
Imam Bukhari mengemukakan alasan bagi pernyataannya itu dengan mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw :
”Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan...”.
Oleh karena itu, Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan umatnya untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam ayat itu ditujukan kepada Nabi saw, tetapi ayat ini juga mencakup umatnya.
Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini :
ÆÏBur Ĩ$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøèC ¼çmçRºuqø9r& Ï9ºxx. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 cÎ) ©!$# îÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ
Artinya : ”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Fathir : 28).
Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.
Sementara dalil yang berasal dari hadits ialah sabda Rasulullah saw :
"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya”.
Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik.
Dalil lain yang menunjukkan kebenaran tindakan kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali diturunkan ialah "Bacalah." Dan membaca ialah kunci ilmu pengetahuan; dan setelah itu baru diturunkan ayat yang berkaitan dengan kerja; sebagai berikut :
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya : ”Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah”. (QS. Al-Muddatstsir: 1-4).
Sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia; antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak; antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima.
Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita yang memulai karangan mereka dengan bab tentang ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin. Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh al-Mundziri dengan bukunya at-Targhib wat-Tarhib. Setelah dia menyebutkan hadits-hadits tentang niat, keikhlasan, mengikuti petunjuk al-Qur'an dan sunnah Nabi saw; baru dia menulis bab tentang ilmu pengetahuan.
Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan ini dasar dan porosnya ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus diakhirkan. Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah, dan melakukan tindakan yang tidak karuan.
Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki”.
Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan, dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan, pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan hakikat agama itu sendiri.
Seperti itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan kepada Islam, serta memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Rasulullah saw dari segi nasab, sekaligus menantu beliau yang sangat dicintai oleh beliau. Kaum Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.
Mereka, kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau dengan kasar dan penuh kebodohan: "Berbuat adillah engkau ini!" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi”.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar yang disampaikan kepada Rasulullah saw ialah 'Wahai Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?".
Orang yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak memahami siasat Rasulullah saw untuk menundukkan hati orang-orang yang baru masuk Islam, dan pengambilan berbagai kemaslahatan besar bagi umatnya, sebagaimana yang telahdisyari'ahkan oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang diberikan oleh kaum Muslimin. Lalu bagaimana halnya dengan harta pampasan perang?.
Ketika sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw untuk membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda :
”Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya”.
Makna ungkapan "tidak lebih dari kerongkongan mereka" ialah bahwa hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu. Mereka sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca itu, walaupun mereka banyak mendirikan shalat dan melakukan puasa.
Di antara sifat yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok itu ialah bahwa : ”Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala”.
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran dan pemahaman mereka. Oleh karena itu, mereka dikatakan dalam hadits yang lain sebagai : ”Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh”.
Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan pemahaman yang tidak sempurna, tetapi mereka tidak mau memanfaatkan kitab Allah padahal mereka membacanya dengan sangat baik, tetapi bacaan yang tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin mereka memahaminya dengan cara yang tidak benar, sehingga bertentangan dengan maksud ayat yang diturunkan oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, Imam Hasan al-Bashri memperingatkan orang yang tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman. Dia mengucapkan perkataan yang sangat dalam artinya: "Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu”.
0 comments:
Post a Comment