Oleh Ari Susanto
A. Pendahuluan
Pendidikan memang pada hakikatnya krusial karena bertautan langsung dengan ranah hidup dan kehidupan manusia. Berbicara pendidikan berarti berbicara kebutuhan primer manusia. Kemudian pendidikan juga merupakan wahana strategis bagi upaya perbaikan mutu kehidupan manusia, yang ditandai dengan meningkatnya level kesejahteraan, menurunnya derajat kemiskinan dan terbukanya berbagai alternatif opsi dan peluang mengaktualisasikan diri di masa depan.
Dalam tataran nilai, pendidikan mempunyai peran vital sebagai pendorong individu dan warga masyarakat untuk meraih progresivitas pada semua lini kehidupan. Di samping itu, pendidikan dapat menjadi determinan penting bagi proses transformasi personal maupun sosial. Dan sesungguhnya inilah idealisme pendidikan yang mensyaratkan adanya pemberdayaan.
Namun dalam tataran ideal, pergeseran paradigma yang awalnya memandang lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial, kini dipandang sebagai suatu lahan bisnis basah yang mengindikasikan perlunya perubahan pengelolaan. Perubahan pengelolaan tersebut harus seirama dengan tuntutan zaman.
Situasi, kondisi dan tuntutan pasca booming-nya era reformasi membawa konsekuensi kepada pengelola pendidikan untuk melihat kebutuhan kehidupan di masa depan. Maka merupakan hal yang logis ketika pengelola pendidikan mengambil langkah antisipatif untuk mempersiapkan diri bertahan pada zamannya. Mempertahankan diri dengan tetap mengacu pada pembenahan total mutu pendidikan berkaitan erat dengan manajemen pendidikan adalah sebuah keniscayaan.
B. Pembahasan
1. Pengertian Manajemen
Perkembangan dinamis aplikasi manajemen berangkat dari keragaman definisi tentang manajemen. Semula, manajemen yang berasal dari bahasa Inggris: management dengan kata kerja to manage, diartikan secara umum sebagai mengurusi atau kemampuan menjalankan dan mengontrol suatu urusan.[1] Manajemen merupakan suatu sistem pengelolaan dan penataan sumber daya pendidikan, seperti tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat, kurikulum, dana (keuangan), sarana dan prasarana pendidikan, tata laksana dan lingkungan pendidikan.[2]
Dengan demikian, manajemen merupakan kebutuhan yang niscaya untuk memudahkan pencapaian tujuan manusia dalam organisasi, serta mengelola berbagai sumberdaya organisasi, seperti sarana dan prasarana, waktu, SDM, metode dan lainnya secara efektif, inovatif, kreatif, solutif, dan efisien.
2. Paradigma Baru Manajemen Pendidikan
Paradigma manajemen pendidikan dewasa ini sudah tidak memadai lagi untuk menangani berbagai perubahan, dan perkembangan yang ada, apalagi untuk menjangkau jauh ke depan sesuai dengan tuntutan terhadap peran pendidikan yang sesungguhnya. Kondisi tersebut menuntut paradigma baru manajemen pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Paradigma baru manajemen pendidikan harus sejalan dengan semangat Undang-Undang Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), UU Nomor 25 Th. 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, dan PP Nomor 25 Th. 2000 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintahan dan Propinsi sebagai Daerah Otonom, yang memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang diberikan itu bersifat utuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi, yang bertujuan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedikitnya terdapat tiga dasar pemikiran yang melandasi Undang-Undang Nomor 22 sebagai berikut.
Pertama; dalam rangka memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Kedua; penyelenggaraan otonomi daerah itu diharapkan dilakukan dengan prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta kemandirian, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, menjaga keserasian hubungan pusat dan daerah, serta meningkatkan peran dan fungsi legislatif, asas dekonsentrasi yang diikuti dengan dukungan pembiayaannya. Ketiga; semua itu dimaksudkan guna menghadapi tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan luas, nyata, dan bertanggungjawab secara proporsional.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah 1999 mengemukakan tiga struktur pemerintahan daerah, yaitu (1) Pemerintahan Pusat atau Pemerintahan; (2) Daerah otonom yang terdiri dari daerah propinsi sebagai daerah otonom dan wilayah administrasi; dan (3) Daerah Kabupaten/Kota, yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan kierarki satu sama lain, tetapi mempunyai hubungan koordinasi, kerjasama dan kemitraan.
Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan di bidang lain. Kewenagan bidang lain ini menjadi kewenangan pemerintah pusat yang meliputi kebijakan tentang: perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), dan pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.[3] Sementara itu kewenangan daerah propinsi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota . Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu adalah kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten/kota, dan kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.[4] Di luar itu semua menjadi kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota , bahkan bidang pendidikan termasuk salah satu kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota .[5]
Seperti diatur dalam pasal 8 bahwa kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Sehubungan dengan itu, untuk mendukung pelaksanaan undang-undang tersebut, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang tersebut bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti; serta mewujudkan system perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang jelas. Dalam undang-undang ini telah diatur sumber penerimaan daerah yang lebih besar, mencakup tidak hanya perolehan dari pendapatan asli daerah, tetapi juga dana perimbangan dari APBN dan kemungkinan pinjaman daerah. Besarnya dana perimbangan ini terutama diperoleh dari pajak bumi dan bangunan (90%), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (80%), serta penerimaan dari sector kehutanan dan pertambangan umum (80%). Sedangkan dari sector pertambangan, minyak bumi dan gas alam masing-masing memperoleh 15 dan 30 persen. Dengan demikian, pembahasan tentang manajemen pendidikan merupakan bagian yang terpisahkan dengan pembahasan tentang pemerintahan daerah, karena strategi pembagian kewenangan di bidang pendidikan yang dapat dikembangkan akan dibatasi oleh ketatnya pembagian sruktur dan sumber dana.
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya berpusat di daerah kabupaten dan kota , sehingga sebagian besr sumber pembiayaan akan dilimpahkan ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian yang berbeda-berda. Kewenangan pemerintah pusat terbatas sejalan dengan dukungan sumber pembiayaan yang terbatas pula. Sementara itu, peranan propinsi sebagai daerah otonom maupun sebagai wilayah administrasi lebih terbatas pada perimbangan sumber keuangan yang lebih sedikit. Dalam pelaksanaannya, baik dari segi kewenangan maupun sumber dana pendidikan, pemerintah daerah kabupaten dan kota akan memegang peranan yang sangat penting. Otonomi daerah diharapkan dapat memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, lebih cepat, lebih efisien dan efektif, serta dapat menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa. Sedikitnya terdapat enam permasalahan yang harus diantisipasi pada paradigma baru manajemen pendidikan dalam koteks otonomi daerah, yakni kepentingan nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, perluasan dan pemerataan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas.[6] Keenam permasalahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara, oleh karena itu penyelenggaraaan pendidikan merupakan kepentingan nasional, hak untuk memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga Negara yang dijamin oleh Pasal 31 UUD 1945. kemungkinan permasalahan yang muncul adalah bagaimana melalui otonomi daerah ini masing-masing daerah kabupaten dan kota , yang memiliki potensi sumber dana berbeda, dapat menjamin agar setiap penduduk memperoleh hak mendapatkan pengajaran yang baik. Kondisi tersebut bukan saja akan melahirkan isu perluasan dan pemerataan pendidikan, khususnya dalam rangka wajib belajar, tetapi bagaimana menyediakan pelayanan pendidikan yang murah dan berkualitas sesuai dengan tuntutan reformasi, sehingga menjamin keadilan setiap penduduk. Kepentingan nasional lainnya adalah kesadaran akan makna pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia jangka panjang. Permasalahannya adalah bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang, yang sering kurang menarik bagi sebagian pejabat karena hasilnya tidak segera tampak, berbeda dengan pembangunan fasilitas jalan, irigasi, dan pasar. Persoalannya adalah bagaimana menjaga agar sumber dana untuk pendidikan tetap terjamin dan memperoleh prioritas dalam alokasi anggaran daerah kabupaten dan kota .
Kedua, masalah yang berkaitan dengan jaminan mutu pendidikan. Dengan mendekatkan kastemer pendidikan exsternal (khususnya orang tua dan masyarakat), aspirasi mereka lebih terakomodasi, demikian pula control dalam akuntabilitas bias dilakukan secara wajar. Masalahnya adalah bagaimana menjamin divaritas kualitas yang disebabkan oleh adanya konteks lokalitas yang cenderung memunculkan kriteria local. Lebih lanjut perlu dipirkan pengembangan standard kinerja pendidikan yang memenuhi tuntutan keuggulan kompetitif dan komparatif dalam konteks nasional, bahkan internasional. Hasil penelitian Fiske (1996) di New zeland dan Chile , menunjukkan bahwa faktor yang cukup berpengaruh dalam praktek desentralisasi adalah ketersediaan dana yang memadai.
Ketiga, berkaitan dengan efesiensi pengeloalaan. Argumentasi desentralissi adalah bahwa melalui pemberdayaan lembaga lokal diharapkan terjadi efesiensi, karena meningkatnya motivasi kerja dan terbukany masalah birokrasi Efisiensi tersebut berkaitan dengan efisiensi manajemen serta efisiensi dalam pngurusan dan penggunaan dana. Untuk kepentengan trsebut, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, yang mampu merencanakan, melaksanakan, mengevaluasidan mempertanggungjawabkan masalah anggaran secara tepat dan produktif.
Keempat, desentralisasi pendidikan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat akan pendidikan, yang dengan sendirinya akan meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun demikian, ini akan dibayar mahal dengan kemungkinan terjadinya jarak yang semakin besar antar daerah dalam pemerataan fasilitas pendidikan, dan mendorong peningkatan kesenjangan kualitas pendidikan. Tanpa manajemen yang tepat masyarakat di daerah yang kaya cenderung menikmati fasilitas pendidikan yang lebih baik dari daerah miskin.
Kelima, dalam undang-undang pemerintahan daerah 1999 dijelaskan bahwa salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk peningkatan sumber dana pendidikan.
Keenam, melalui otonomi daerah pengambilan keputusan yang menyangkut pelaksanaan layanan pendidikan akan semakin mendekati masyarakat yang dilayaninya(kastemer), hingga akuntabilitas layanan bergeser dari yang lebih berorientasi kepada kepentingan pemerintah pusat kepada akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat secara luas dan terbuka. Yang berarti pengambilan keputusan tentang pelaksnaan pendidikan di daerah menuntut partisipasi masyarakat dan orang tua yang lebih luas dan terbuka, terutama dalam menumbuhkan manajemen yang transparan dan demokratis.
Dalam paradigma baru manajemen pendidikan ini, Depdiknas telah memetakan fungsi-fungsi pendidikan yang didesentralisasikan ke sekolah (pemberian wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri) sebagai berikut :
Input Proses Output
INPUT meliputi : Perencanaan dan evaluasi, kurikulum, pembelajaran, ketenagaan, fasilitas, keuangan, kepesertadidikan, hubungan sekolah-masyarakat, iklim sekolah, kemudian mengarah kapada proses(belajar mengajar) di bawah berikut tanda panah dan seterusnya.
PROSES : Proses Belajar Mengajar
OUTPUT: Prestasi Peserta.[7]
Dan secara skematis, bidang garapan manajemen pendidikan dapat diilustrasikan sebagai berikut: dimulai dari Visi menuju ke => Aksi. Kemudian Manajemen dan Pendidikan mengarah kepada => Perencanaan, Pengorganisasian, Penggerakan, Pengawasan, dan Kepemimpinan, kemudian mengarah kepada => Kurikulum, Pembelajaran, Ketenangan, Sarana, Dana, Informasi, dan Lingkungan, kemudian mengarah kepada => Tujuan Pendidikan.[8]
Kepekaan melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan menjadi modal utama untuk mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat menjadi pijakan yang kuat untuk mengembangkan pendidikan. Pada titik inilah diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan kualitas. Ketika melihat peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian modal menjadi pijakan untuk mengembangkan pendidikan yang disertai komitmen yang tinggi, maka secara otomatis akan terjadi sebuah efek domino (positif) dalam pengelolaan organisasi, strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran, biaya, serta marketing pendidikan.
Untuk menuju point education change (perubahan pendidikan) secara menyeluruh, maka manajemen pendidikan adalah hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan. Walaupun masih terdapat institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas.
Jika manajemen pendidikan sudah tertata dengan baik dan membumi, niscaya tidak akan lagi terdengar tentang pelayanan sekolah yang buruk, minimnya profesionalisme tenaga pengajar, sarana-prasarana tidak memadai, pungutan liar, hingga kekerasan dalam pendidikan. Manajemen dalam sebuah organisasi pada dasarnya dimaksudkan sebagai suatu proses (aktivitas) penentuan dan pencapaian tujuan organisasi melalui pelaksanaan empat fungsi dasar: planning, organizing, actuating, dan controlling dalam penggunaan sumberdaya organisasi. Karena itulah, aplikasi manajemen organisasi hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi yang bersangkutan.
- Planning (perencanaan)
Satu-satunya hal yang pasti di masa depan dari organisasi apapun termasuk lembaga pendidikan adalah perubahan, dan perencanaan penting untuk menjembatani masa kini dan masa depan yang meningkatkan kemungkinan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan merupakan proses menentukan apa yang seharusnya dicapai dan bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan. Perencanaan amat penting untuk implementasi strategi dan evaluasi strategi yang berhasil, terutama karena aktivitas pengorganisasian, pemotivasian, penunjukkan staff, dan pengendalian tergantung pada perencanaan yang baik.[9]
Dalam konteks lembaga pendidikan, untuk menyusun kegiatan lembaga pendidikan, diperlukan data yang banyak dan valid, pertimbangan dan pemikiran oleh sejumlah orang yang berkaitan dengan hal yang direncanakan. Oleh karena itu kegiatan perencanaan sebaiknya melibatkan setiap unsur lembaga pendidikan tersebut dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Ada beberapa hal yang penting dilaksanakan terus menerus dalam manajemen pendidikan sebagai implementasi perencanaan, diantaranya:
1) Merinci tujuan dan menerangkan kepada setiap pegawai/personil lembaga pendidikan.
2) Menerangkan atau menjelaskan mengapa unit organisasi atau lembaga pendidikan tersebut diadakan.
3) Menentukan tugas dan fungsi, mengadakan pembagian dan pengelompokkan tugas terhadap masing-masing personil.
4) Menetapkan kebijaksanaan umum, metode, prosedur dan petunjuk pelaksanaan lainnya.
5) Mempersiapkan uraian jabatan dan merumuskan rencana/sekala pengkajian.
6) Memilih para staf (pelaksana), administrator dan melakukan pengawasan.
7) Merumuskan jadwal pelaksanaan, pembakuan hasil kerja (kinerja), pola pengisian staf dan formulir laporan pengajuan.
Gamabaran secara mudah arah Perencanaan
1). Visi, 2). Misi, 3). Tujuan, 4). Sasaran, 5). Strategi, 6). Kebijakan, 7). Prosedur dan Kebijakan, 8). Program, 9). Anggaran.[11]
- Organizing (pengorganisasian/pembinaan)
Tujuan pengorganisasian adalah mencapai usaha terkoordinasi dengan menerapkan tugas dan hubungan wewenang. Pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokkan dan pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitas ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menetapkan wewenang yang secara relative didelegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Pengorganisasian fungsi manajemen dapat dilihat terdiri dari tiga aktivitas berurutan: membagi-bagi tugas menjadi pekerjaan yang lebih sempit (spesialisasi pekerjaan), menggabungkan pekerjaan untuk membentuk departemen (departementalisasi), dan mendelegasikan wewenang[12].
Dalam konteks pendidikan, pengorganisasian merupakan salah satu aktivitas manajerial yang juga menentukan berlangsungnya kegiatan kependidikan sebagaimana yang diharapkan. Lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi memiliki berbagai unsur yang terpadu dalam suatu sistem yang harus terorganisir secara rapih dan tepat, baik tujuan, personil, manajemen, teknologi, siswa/member, kurikulum, uang, metode, fasilitas, dan faktor luar seperti masyarakat dan lingkungan sosial budaya.
Organisasi yang baik senantiasa mempunyai dan menggunakan tujuan, kewenangan, dan pengetahuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan. Dalam organisasi yang baik semua bagiannya bekerja dalam keselarasan seakan-akan menjadi sebagian dari keseluruhan yang tak terpisahkan. Semua itu baru dapat dicapai oleh organisasi pendidikan, manakala dilakukan upaya: 1) Menyusun struktur kelembagaan, 2) Mengembangkan prosedur yang berlaku, 3) Menentukan persyaratan bagi instruktur dan karyawan yang diterima, 4) Membagi sumber daya instruktur dan karyawan yang ada dalam pekerjaan.[13] Namun dalam penerpannya tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan.
- Actuating (pelaksanaan)
Dalam pembahasan fungsi pengarahan, aspek kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Sehingga definisi fungsi pengarahan selalu dimulai dan dinilai cukup hanya dengan mendifinisikan kepemimpinan itu sendiri.
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai seni atau proses untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain agar mereka mau berusaha untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok. Kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan, proses atau fungsi yang digunakan untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.[14]
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin bertugas untuk memotivasi, mendorong dan memberi keyakinan kepada orang yang dipimpinnya dalam suatu entitas atau kelompok, baik itu individu sebagai entitas terkecil sebuah komunitas ataupun hingga skala negara, untuk mencapai tujuan sesuai dengan kapasitas kemampuan yang dimiliki. Pemimpin juga harus dapat memfasilitasi anggotanya dalam mencapai tujuannya. Ketika pemimpin telah berhasil membawa organisasinya mencapai tujuannya, maka saat itu dapat dianalogikan bahwa ia telah berhasil menggerakkan organisasinya dalam arah yang sama tanpa paksaan.
Dalam konteks lembaga pendidikan, kepemimpinan pada gilirannya bermuara pada pencapaian visi dan misi organisasi atau lembaga pendidikan yang dilihat dari mutu pembelajaran yang dicapai dengan sungguh-sungguh oleh semua personil lembaga pendidikan. Kepemimpinan pendidikan ialah kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan secara bebas dan sukarela. Di dalam kepemimpinan pendidikan sebagaimana dijalankan pimpinan harus dilandasi konsep demokratisasi, spesialisasi tugas, pendelegasian wewenang, profesionalitas dan integrasi tugas untuk mencapai tujuan bersama yaitu tujuan organisasi, tujuan individu dan tujuan pemimpinnya.[15]
Ada tiga keterampilan pokok yang berlaku umum bagi setiap pimpinan termasuk pimpinan lembaga pendidikan, yaitu:
1) Teknis keterampilan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas-tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan pelatihan
2) Teknis keterampilan kemampuan dan penilaian dalam bekerja dengan dan melalui orang, termasuk dalam memahami motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif.
3) Keterampilan kemampuan konseptual untuk memahami kompleksitas organisasi secara keseluruhan dan di mana operasi sendiri sesuai dalam organisasi. Pengetahuan ini memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan tujuan organisasi total bukan hanya atas dasar tujuan dan kebutuhan kelompok sendiri.[16]
- Controling (pengawasan/pengendalian)
Pengawasan sebagai suatu upaya sistematis untuk menetapkan standar prestasi kerja dengan tujuan perencanaan untuk mendesain sistem umpan balik informasi; untuk membandingkan prestasi sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan itu; menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut; dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumberdaya perusahaan telah digunakan dengan cara yang paling efekif dan efisien guna tercapainya tujuan perusahaan.[17]
Dalam konteks pendidikan pengawasan program pengajaran dan pembelajaran atau supervisi yang harus diterapkan sebagai berikut:
1) Pengawasan yang dilakukan pimpinan dengan memfokuskan pada usaha mengatasi hambatan yang dihadapi para instruktur atau staf dan tidak semata-mata mencari kesalahan.
2) Bantuan dan bimbingan diberikan secara tidak langsung. Para staf diberikan dorongan untuk memperbaiki dirinya sendiri, sedangkan pimpinan hanya membantu.
3) Pengawasan dalam bentuk saran yang efektif.
4) Pengawasan yang dilakukan secara periodik.[18]
3. Efektifitas Manajemen dalam Lembaga Pendidikan.
Dalam ranah aktivitas, implementasi manajemen terhadap pengelolaan pendidikan haruslah berorientasi pada efektivitas (ketepatgunaan) terhadap segala aspek pendidikan baik dalam pertumbuhan, perkembangan, maupun keberkahan (dalam perspektif syariah). Berikut ini merupakan urgensi manajemen terhadap bidang manajemen pendidikan:
a) Manajemen Kurikulum
1) Mengupayakan efektifitas perencanaan
2) Mengupayakan efektifitas pengorganisasian dan koordinasi
3) Mengupayakan efektifitas pelaksanaan
4) Mengupayakan efektifitas pengendalian/pengawasan
b) Manajemen Personalia
Manajemen ini berkisar pada staff development (teacher development), meliputi (Pengembangan Staff dan Guru):
1) Training (Pelatihan)
2) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
3) Inservice Education (Intern Pendidikan/Pendidikan Lanjutan)
c) Manajemen Siswa
1) Penerimaan Siswa (Daya Tampung, Seleksi)
2) Pembinaan Siswa (Pengelompokkan, Kenaikan Kelas, Penentuan Program, Ekskul)
3) Pemberdayaan OSIS
d) Manajemen Keuangan
Dalam keuangan pengelolaan pendidikan, manajemen harus berlandaskan pada prinsip: efektivitas(ketepatgunaan), efisiensi (penghematan) dan pemerataan
Dalam kaitannya dengan uang dan pendidikan, pegawai administrasi sekolah memiliki tugas dan harus bertanggung jawab dalam hal-hal sebagai berikut :
1) Hubungan dengan masyarakat
2) Penyusunan dan pengembangan rencana anggaran pengeluaran belanja sekolah (RAPBS)
3) Penataran
4) Pengaturan pemasokan
5) Perencanaan dan peningkatan fasilitas sekolah
6) Pelaksanaan apa yang telah direncanakan
7) Evaluasi dan pertanggung jawaban keuangan sekolah/laporan keuangan
e) Manajemen Lingkungan
Urgensi manajemen terhadap lingkungan pendidikan bertujuan dalam merangkul seluruh pihak terkait yang akan berpengaruh dalam segala kebijakan dan keberlangsungan pendidikan, dan memberdayakan masyarakat sekitar sekolah.
Maksud hubungan sekolah dan masyarakat adalah: 1). Untuk mengembangkan pemahaman tentang maksud dan saran-saran dari sekolah, 2). Untuk menilai program sekolah, 3). Untuk mempersarukan orang tua murid dan guru dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak didik, 4). Untuk mengembangkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan sekolah, 5). Untuk membangun dan memelihara kepercayaan masyarakat, 6). Untuk memberitahu masyarakat tentang pekerjaan sekolah, 7). Untuk mengerahkan dukungan dan bantuan bagi pemeliharaan dan peningkatan program sekolah.[19]
C. Kesimpulan
Manajemen pendidikan dibuat untuk di implementasikan sebaik-baiknya pada suatu lembaga pendidikan guna meningkatnya level kesejahteraan kehidupan bangsa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar pendidikan yang ada dapat bersaing pada tantangan pendidikan global dengan Negara-negara lain, serta mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, dengan membentuk manusia berakhlaq mulia yang harus mendapatkan pembinaan mental, moral, fisik, dan pembinaan artistik yang dibutuhkan untuk pengembangan Negara Indonesia, dan itu adalah sumber daya manusia yang pintar, cerdas dan berilmu pengetahuan luas hingga menjadi bangsa yang berintelektualitas tinggi. Dan kita sebagai umat Islam berharap Nilai-nilai Islamlah yang sesungguhnya pantas menjadi payung strategis hingga taktis seluruh aktivitas kehidupan untuk pencapaian ridho Allah SWT.
____________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
David, R. Fred. 2004. Konsep Manajemen Strategis, Edisi VII (terjemahan). Jakarta, PT Indeks.
Hasibuan, S.P. Malayu. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan II. Jakarta, PT Toko Gunung Agung.
__________________. 1996. Manajemen, Dasar, Pengertian dan Masalah, Cetakan I. Jakarta, PT Toko Gunung Agung.
Ismail, M. Yusanto. 2003. Pengantar Manajemen Syariat, Cetakan II. Jakarta, Khairul Bayan.
Johnson, R.A. 1973. The Theory and Management of System. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha.
Kadarman, A.M. et.al. 1996. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta, Gramedia.
Mulyasa, E. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007.
Mondy, R.W.and Premeaux, S.H. 1995. Management: Concepts, Practices and Skills. New Jersey , Prentice Hall Inc Englewood Cliffs.
Rusyan, A. Tabrani. 1992. Manajemen Kependidikan. Bandung: Media Pustaka.
Soetopo, Hendiyat dan Soemanto, Wasty. 1982. Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Sutisna, Oteng. 1985. Administrasi Pendidikan. Bandung: Angkasa.
Syafaruddin. 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Cetakan I. Jakarta: Ciputat Press.
[1] Oxford, Learner’s Pocket Dictionary. 2005. act of running and controlling a business, Newyork, Oxford University Press
[2] Dr. E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007, hlm.11
[8] Dr. E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007, hlm. 14
[9] David, R. Fred. 2004. Konsep Manajemen Strategis, Edisi VII (terjemahan). Jakarta, PT Indeks.
[10] Rusyan, A. Tabrani. 1992. Manajemen Kependidikan. Bandung: Media Pustaka.
[11] Kadarman, A.M. et.al. 1996. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta, Gramedia.
[13] Sutisna, Oteng. 1985. Administrasi Pendidikan. Bandung: Angkasa.
[15] Soetopo, Hendiyat dan Soemanto, Wasty. 1982. Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
[16] Syafaruddin. 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Cetakan I. Jakarta: Ciputat Press.
[19] Dr. E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007, hlm.164
0 comments:
Post a Comment