Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Wednesday, June 17, 2015

Menanggapi Maksud Muhammad Abdul Rauf (Catatan Resensi Fazlur Rahman)


Oleh: Ari Susanto
Disusun Untuk Memenuhi Tugas: Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Amin Abdullah

  1. Pendahuluan
Perbedaan perspektif karena latar belakang dan faktor-faktor yang mempengaruhi baik itu wawasan, pengalaman, kewarganegaraan, keyakinan, dan lain-lain sebagainya dari setiap orang yang berbeda-beda, baik individu, kelompok ataupun golongan, tidak akan pernah kita identikkan dengan sesuatu hal yang bersifat negatif, akan tetapi “Enrichment perspektif” (pengayaan cara pandang), karena perspektif tidak tunggal dan memang harus melalui berbagai sudut pandang disiplin Ilmu Pengetahuan dan teknologi dari setiap orang atau golongan yang berbeda-beda, dengan catatan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Maka toleransi dalam hal ini sangatlah diperlukan, itulah sebabnya kita hidup bersosialisasi akan lebih baik secara ilmiah dan riset dari berbagai perspektif untuk menyatakan dan menyimpulkan sesuatu dengan lebih baik.1
Agama dan masyarakat itu ada dan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Pengaruh timbal-balik antara keduanya merupakan kenyataan sosial-budaya yang menjadi tantangan untuk dipahami seluas dan sedalam mungkin.2
Agama sebagai ajaran yang memberi tuntunan hidup banyak dijadikan pilihan karena ada indikasi dalam agama terdapat banyak nilai yang bisa dimanfaatkan manusia ketimbang ideologi. Orang lebih leluasa memeluk agama dan merasakan nilai positifnya tanpa harus capek-capek menggunakan potensi akalnya. Agama memberi tempat bagi semua. Di kalangan kaum akademisi dan aktivis sosial khususnya, agama saat ini tidak hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau  sesuatu yang bersifat normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai suatu case study, studi kasus yang menarik bagaimana agama dilihat sebagai obyek kajian untuk diteliti. Dalam perspektif  budaya, agama dilihat bagaimana sesuatu yang ilahi itu menghistoris (menyejarah) di dalam praktek tafsir dan tindakan sosial, sehingga dengan demikian agama bukannya sesuatu yang tak tersentuh (untouchable), namun sesuatu yang dapat diobservasi dan dianalisis karena perilaku keberagamaan itu dapat dilihat dan dirasakan. Terlebih di dalam masyarakat yang agamis seperti Indonesia, yang menempatkan agama sebagai bagian dari identitas ke-indonesia-an tentu ada banyak problem keagamaan yang menarik untuk diungkap. Kita tidak akan pernah tahu rahasia agama dan keberagamaan masyarakat bila kita tidak mampu melakukan penelitian atau kajian, seperti mengapa seseorang itu menjadi sangat militan atau mengapa antar komunitas agama saling berkonflik dan seterusnya.3
Makalah ini lebih diutamakan pada masalah yang dimunculkan Abdul Rauf yang memprotes sarjana barat dalam memperlakukan materi Islam dan pandangannya bahwa non-Muslim bisa mengkaji sejarah Islam, misalnya, jika mereka dapat mengkajinya secara jujur, tetapi bahwa mereka tidak mengkaji asal-usul Islam, karena mereka tidak pernah memahaminya secara benar.

  1. Pembahasan
Pendekatan normatif dan historis tidak selamanya seirama, hubungan keduanya seringkali diwarnai ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan normatif lantaran berangkat dari teks (kitab suci) yang bercorak literalis, tekstualis dan skriptualis tidak sepenuhnya menyetujui alternasi pemahaman yang dikemukakan oleh pendekatan historis. Yang menurutnya bersifat reduksionis, yakni pemahaman keagamaan yang hanya terbatas pada aspek eksternal-lahiriah dari keberagamaan manusia dan kurang begitu memahami, menyelami dan menyentuh aspek batiniah-eksoteris serta makna terdalam dan moralitas yang dikandung oleh ajaran agama itu sendiri. Sedang pendekatan historis yang lebih bersifat historis menuduh corak pendekatan normatif sebagai jenis pendekatan dan pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat absolutis, lantaran cenderung mengabsolutkan teks yang sudah tertulis, tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi berbagai teks keagaamaan yang ada. Pendekatan historis ingin menggaris bawahi pentingnya telaah yang mendalam tentang asbab al-nuzul, baik yang bersifat cultural, psikologis maupun sosiologis.4
Dalam hal ini ajaran Agama bisa kita kelompokkan menjadi dua. Pertama, Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melelalui para rasul-Nya kepada umat manusia terdapat dalam kitab-kitab suci agama. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti (makna) dan cara pelaksanaannya. Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak dapat diubah. 
Kedua, Penjelasan-penjelasan pemuka atau pakar-pakar agama membentuk ajaran agama. Penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran manusia, tidak bersifat absolut, tidak mutlak benar dan tidak kekal, atau kebenaran penafsiran, sebagaimana kebenaran hasil penlitian ilmu pengetahuan, tidak bersifat mutlak pasti benar selamanya. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi,  berubah dan dapat diubah sesuai dengan tuntutan perkembangan ruang dan waktu.

Orang Dalam dan Orang Luar
Siapa yang paling kompeten untuk bicara mengenai Islam, sarjana muslim sendiri (insider) atau sarjana Barat dan para orientalis(outsider)? Muhammad Abdul Rauf memberikan catatan bahwa banyak prasangka dan bahaya dalam studi Islam yang dilakukan oleh Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy).5
Sedangkan Fazlur Rahman ingin menjelaskan maksud pendirian Abdul Rauf secara lebih tepat. Rahman berpendapat bahwa laporan outsider tentang pernyataan insider mengenai pengalaman agamanya sendiri bisa sebenar laporan insider sendiri. Yang paling penting adalah kejujuran akademis dalam memahami Islam. Namun harus dicatat pula bahwa kajian Islam dari para outsider menyumbangkan gagasan-gagasan besar ilmiah yang memicu gerakan intelektual dalam peradaban Islam. Lahirnya daya kritis Islam lahir berkat kajian-kajian para outsider. Dengan cara berfikir kritis, intelektual Muslim mengetahui problem yang sedang diderita sembari mengusulkan pelbagai pemecahan yang harus dilakukan6
Problem salah paham dan salah tafsir merupakan hal biasa dalam semua pengalaman manusia, termasuk ilmu-ilmu alam, dimana seorang ilmuwan bisa salah memahami atau menafsirkan eksperimennya. Untuk membuktikan hasil-hasil ilmu yang salah relatif mudah karena kita bisa memverifikasinya. Kemudian mengumpulkan data dan verifikasinya difasilitasi oleh kenyataan bahwa obyek kajian tidak bersifat esoterik tetapi publik, dan subyek studi “tidak berprasangka” dan terbuka, sementara instrumen-instrumennya “dapat dipercaya.” Hampir tak satupun syarat-syarat ini cukup ketika kita sampai pada kajian tentang urusan-urusan manusia. Adalah fakta bahwa banyak perkara manusia dapat dikaji, jika tidak secara mutlak benar, yang pasti dapat memuaskan. Pernikahan dalam beberapa segi adalah masalah esoterik, tetapi juga mempunyai aspek publik yang pengting dan dapat dilihat, dibandingkan dan dipertentangkan, serta digeneralisasi untuk disesuaikan dengan tujuan menerapkannya dalam kasus tertentu.7
Wilfred Cantwell Smith menyatakan, sebuah pernyataan tentang suatu agama oleh orang dapat dipandang benar (atau memadai) jika pengikut agama yang bersangkutan mengatakan “ya” pada pernyataan tersebut. Dan sebagai peringatan bahwa dikalangan agama-agama dengan ortodoksi yang terdefinisi secara baik atau inti tradisi yang kongkret, bisa jadi ada sebagian pengikutnya atau bahkan mayoritas menolaknya. Dapatkah fenomena semacam ini diperlakukan hanya sebagai musuh keluarga?
Seperti yang diungkapkan Jhon Wisdom di dalam Other Minds, menyatakan bahwa suatu pengalaman mempunyai hak istimewa mengakses pengalamannya, yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Ketika A mengatakan (yang sesungguhnya), “saya sakit gigi,” dan ketika B melaporkannya pada C, bahwa A sakit gigi, B jelas tidak merasakan sakit gigi yang dialami A. Setidaknya B, jika ia pernah menderita sakit gigi, dapat membuat analogi berdasarkan pengalamannya berdasakan A, dan demikian juga C. Tapi, atas dasar ini, dapatkah kita terus mengatakan bahwa ketika A mengatakan “saya sakit gigi,” dan B mengatakan pada C “A sakit gigi,” dua proposisi ini tidak memiliki makna yang sama? Kebijaksanaan ini akan menolak ini secara mutlak. Karena makna sebuah proposisi tidak dapat dibuat relatif untuk memiliki atau tidak memiliki pengalaman tertentu. A sakit gigi adalah sebuah fakta yang benar (atau salah) secara universal tanpa memandang siapapun yang mengatakannya.8 Kenapa Jane smith meminta agar penelitian dilakukan oleh otsider? Karena penelitian diharapkan dapat memperoleh beberapa makna “pemahaman” lain dan “bermakna bagi orang lain.” Dan dalam kasus studi agama, tampaknya lebih layak untuk mencita-citakan “pemahaman atau apresiasi intelektual” dan ini memungkinkan baik bagi insider ataupun outsider untuk menyepakati bahwa kita dapat saling belajar dari yang lainnya dan upaya melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain merupakan idealisme yang terhormat.
Syarat pertama untuk pemahaman semacam ini adalah subyek yang meneliti tanpa permusuhan atau prasangka terhadap obyek kajiannya, tetapi harus terbuka, dan jika mungkin simpati. Prasangka tidak terbatas pada kondisi keagamaan atau kondisi emosi orang lain. prasangka intelektual bisa datang dalam bentuk paham-paham atau kategori-kategori prakonsepsi. Sarjana yang terdidik dalam bidang tertentu secara khusus bertanggung jawab atas prasangka ini. Kejujuran adalah obat mujarab bagi prasangka intelektual yakni mengakui bahwa kategori-kategori dapat terus berkembang. Sedangkan Perlakuan barat terhadap islam sebelum abad ke-19 menampakkan prasangka agama, sedangkan pada abad ke-19 hingga awal abad 20 menampakkan prasangka budaya dan intelektual.9
Pengetahuan ilmiah bukanlah “pengalaman keagamaan” tetapi suatu “pengetahuan (intelektual)” quasi ilmiah tentang pengalaman keagamaan dimana normativitas atau otoritas pengalaman tidak berlaku, tetapi sesuatu pengaruh dari langsungnya terhadap subyek yang mengalami (termasuk laporan yang mengenainya) dapat dijaga dan diakses oleh orang lain. Jelas tugas Muslim adalah mengemukakan Islam, Muslim dan non-Mulsim secara pasti dapat bekerja sama Pada tingkat pemahaman intelektual. Pernyataan yang lahir dari kerja sama semacam ini akan dipandang valid bagi Muslim maupun non-Muslim. 10 Harus kita bedakan antara komunitas keagamaan sebagai pembawa budaya keagamaan dengan kebenaran normatif atau aspek transenden agama.
Tapi, yakinlah bahwa Islam juga mempunyai aspek transenden, sebuah aspek yang belum dihargai dan masih merupakan buku yang terbuka: Komunitas Muslim bisa menghargainya pada masa depan dan membuatnya menjadi bagian dari kumulasi tradisi atau siapa pun orangnya dapat menghargainya bila ia memeliharanya. Apakah Muslim lebih maju daripada orang lain karena mereka sudah setia pada Islam, atau orang lain lebih maju daripada Muslim karena Muslim dibatasi oleh tradisi yang sudah solid, adalah sebuah persoalan yang terbuka dan sangat menarik.11
Earle Waugh dalam pembukaan papernya pada Bab 3 buku ini mengenai "Muhammad Sang Teladan," di mana ia berpendapat bahwa banyak Muslim yang taat menolak untuk menerima deskripsi orang luar tentang kepercayaan mereka. Dan sebagian sarjana meyakini normatif adalah apa yang diyakini Muslim atau sebagian Muslim terdidik sebagai "Islam yang benar." Tentu saja seorang Muslim dapat mengatakan bahwa apa yang ia yakini adalah apa yang ia pikirkan sebagai Islam yang benar, sejati, tetapi ia tidak akan pernah mengklaimnya sebagai Islam normatif karena ia siap mengakui bahwa apa yang dipandang Islam sejati dan benar akan dinilai oleh al-Qur'an dan Sunnah. Titik sandaran normatif ini, al-Qur'an dan sunnah, harus memodifikasi pendekatan fenomenologis yang dengan cara lain cenderung relativistik kronis. Kita sering diminta untuk menerima tradisi keilmuan yang sangat ketat dan dogmatis sepanjang metode dan kategorinya berjalan, bahkan yang memperturutkan Islam yang bebas,untuk semua pada saat yang sama.12
Mengutip dari pendapat Dr. Zakir Naik, bahwa al-Qur’an yang agung adalah sebuah kitab terakhir yang diwahyukan kepada nabi terakhir yakni nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin, Para ilmuwan dunia juga mengakui bahwa al-Qur’an bukanlah buatan manusia karena ketinggian dan kesempurnaan susunan gaya bahasanya yang sudah di desain sesuai dengan perkembangan zaman, di desain sedemikian rupa agar dijadikan sebagai pedoman rahmatan lil alamin. Menurut beliau al-Qur’an bukanlah ilmu pengetahuan, ia adalah kitab tentang tanda, tentang ayat-ayat, selain tidak hanya dibaca juga untuk dipelajari, dan disana terdapat enam ribu tanda ayat dalam al-Qur’an yang agung yang didalamnya ada lebih dari seribu uraian tentang ilmu pengetahuan. Sepanjang kita berpikir logis dan setelah penjelasan logis diberikan kepada kita, tak seorangpun yang dapat membuktikan satu ayatpun dalam kitab suci al-Qur’an untuk dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan modern.13
Budaya menurut koenjaraningrat adalah keseluruhan system gagasan tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.14 Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan teks (kitab) yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yan objektif. Faktor kondisi objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat dan adat istiadat.15
Sebagian peneliti berpendapat bahwa penelitian agama dan penelitian keagamaan adalah dua hal yang berbeda. Penelitian agama (research on religion) adalah penelitian yang obyeknya adalah sumber agama sebagai doktrin, yang dalam hal ini yaitu al-Qur’an dan hadis.16 Dalam hal ini, obyek penelitianlah yang menjadi penentu metode suatu penelitian, bukan sebaliknya.17 Sedangkan penelitian keagamaan (religious research) adalah penelitian yang obyeknya tidak langsung mengenai doktrin agama, tapi menitik beratkan pada agama sebagai sistem keagamaan dan nilai-nilai yang dilingkupinya dan gejala-gejala yang terjadi seperti nilai kemanusiaan, kerukunan, interaksi sosial dan seterusnya.
Penelitian terhadap al-Qur’an bukan bermaksud mempertanyakan kebenaran al-Quran sebagai wahyu ilahiyah, tetapi dengan mengkaji al-Qur’an diharapkan akan melahirkan sejumlah bidang keilmuan. Kajian itu meliputi proses turunnya al-Qur’an, termasuk faktor sosiologis dan kultural masyarakat pada saat al-Qur’an diturunkan. Kajian ini melibatkan ilmu antropologi, sosiologi, sejarah, dan lainnya.
Menurut Syafii Maarif, al-Qur’an memegang posisi utama dalam studi keislaman. Fungsinya secara garis besar terbagi dua, yaitu sebagai sumber inspirasi dan dorongan berpikir kreatif, dan sebagai furqan (permisah antara sesuatu yang haq dan yang bathil). Al-Qur’an menurutnya mengandung dua macam realitas, yakni realitas yang dapat didekati secara empiris (lewat eksperimen dan observasi), dan realitas yang berada di luar jangkauan indra manusia, karena bersifat metafisik. Maka, untuk realitas yang kedua ini, pendekatan yang digunakan adalah keimanan. Berangkat dari dua realitas dan dihubungkan dengan kehidupan modern, maka ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi dan sejarah mempunyai peran yang sangat signifikan untuk memahami doktrin-doktrin al-Qur’an.18
Seorang tokoh islam yang berasal dari India bernama Dr. Zakir Naik yang telah banyak menulis buku diantaranya adalah al-Qur’an & Modern Science, beliau berpendapat bahwa wahyu Tuhan tidak mungkin mengandung kesalahan ilmiah. al-Qur’an dalam hal ini Sepanjang kita berpikir logis dan setelah penjelasan logis diberikan kepada kita, tak seorangpun yang dapat membuktikan satu ayatpun dalam kitab suci al-Qur’an untuk dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan modern “Yang salah adalah pemahamannya”19
Demikian halnya dengan penelitian terhadap hadis Nabi. Riwayat-riwayat hadis yang tersebar dalam berbagai kitab hadis memerlukan penelitian yang sangat serius terhadap sanad dan matannya untuk membuktikan bahwa riwayat itu betul-betul berasal dari Nabi. Kajian terhadap riwayat-riwayat tersebut membutuhkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu yang lain. Dengan demikian, al-Quran dan hadis tidak lagi hanya dipahami sebagai dogma ilahiyah-nabawiyah semata, tapi dapat dijadikan sebagai sumber teori yang dapat menginspirasi dan mendorong umatnya untuk berpikir kreatif.20
Mungkin benar jika “umat” Islam berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadis, dan meyakini Nabi Muhammad sebagai sang teladan, akan tetapi hal ini tidak diharapkan umat Islam tertutup dengan apapun selain itu. dan menganggap al-Qur’an, Hadis, dan Nabi Muhammad sang teladan adalah kitab dan pemimpin satu-satunya. Dalam hal ini mungkin bisa diibaratkan seperti seekor ayam, jika yang dikeluarkan adalah telur, maka hal itu mungkin baik dan semestinya harus kita ambil untuk dimakan, tapi jika yang dikeluarkan oleh seekor ayam adalah berbentuk kotoran, maka hal itu tidak seharusnya kita ambil untuk dimakan demi kebaikan. Karena mungkin kita semua yakin bahwa umat Islam sebenarnya tidak mau untuk dikatakan sebagai umat yang tertutup dan bersifat normatif, akan tetapi umat Islam adalah umat yang terbuka dan akan terus selalu menumbuh kembangkan dan memajukan umat Islam itu sendiri.
Pembahasan ini jangan dipahami sebagai pemahaman yang besifat tidak jelas hingga dipahami sebagai pemahaman yang tidak bertujuan untuk membenarkan ataupun menolaknya. Terutama dalam kehidupan umat Islam yang saat ini relatif terpuruk jika dibandingkan dengan umat beragama lain, hal ini tidak lepas dari aspek sejarah. Dari perspektif sejarah kehidupan umat Islam mengalami pasang surut, naik turun, dan bergelombang. Tidak sedikit dari beberapa tokoh kalangan umat Islam sendiri yang mengatakan bahwa “Umat Islam sekarang benar-benar terpuruk dan terhina”, baik secara fisik maupun mental. Citra umat Islam selalu dipojokkan dengan sebutan agresif, destruktif, ekstrimis, eksklusif, mengingkari hukum, teroris, biadab, fanatik, fundamentalis, dan dunianya selalu dipenuhi dengan pertentangan, perpecahan, dan peperangan serta diklaim sebagai dunia yang sakit21. Dengan pembahasan ini diharapkan dapat memperoleh beberapa makna “pemahaman” lain dan “bermakna bagi orang lain.” Dan dalam kasus studi agama, tampaknya lebih layak untuk mencita-citakan “pemahaman atau apresiasi intelektual” dan ini memungkinkan baik dan berguna bagi penganut agama tersebut ataupun secara universal untuk menyepakati bahwa kita dapat saling belajar dari yang lainnya. Dan kita tidak akan menyebut pembahasan ini sebagai pembahasan yang hanya terus mengkaji dan memunculkan kelemahan-kelemahan dan hal-hal yang bersifat memojokkan citra umat Islam yang di khawatirkan keyakinan umat Islam akan memudar dan juga ragu terhadap ajaran-jaran Agamanya, kemudian akan menimbulkan sifat pesimis dikalangan Islam sendiri, dan lain-lain sebagainya kalau hanya memunculkan salah satu sisi kelamahannya saja, mungkin bisa dikatakan “iya” jika kita hanya melihat sisi pembahasan ini secara sekilas, tapi sebenarnya sangat baik dan berguna jika kita bisa memahami maksud dari pembahasan ini secara menyeluruh. Dan mungkin juga benar jika selain kita mengkaji kelemahan-kelemahan juga akan lebih baik apabila kita juga mengkaji kelebihan-kelebihannya agar lebih seimbang.
Memiliki sikap toleransi, terbuka, berpandangan luas, memiliki pengetahuan rasional yang tinggi dan seimbang dengan pengetahuan agama adalah sangat dibutuhkan untuk lebih dapat memahami suatu agama dari berbagai sudut pandang, baik dari kalangan orang dalam sendiri maupun dari kalangan luar, dengan catatan harus sesuai dengan ketentuannya demi mengembangkan dan memajukan umat Islam.
Terbentuk atau tidaknya suatu pemahaman yang menghasilkan perspektif yang diakui orang dalam ataupun orang luar dari berbagai sudut pandang, baik itu mengkaji dan memaparkan kelebihan-kelebihannya ataupun kekurang-kekurangannya pada kajian studi agama sedikit banyaknya tidak akan pernah lepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dan hal-hal yang mempengaruhi terbentuk atau tidaknya suatu pemahaman yang diharapkan para penganut agama tersebut atau dari kalangan luar adalah salah satu hal yang sangat berpotensi besar untuk menjadi sumber “motivasi” guna terbentuknya suatu pemahaman tersebut.

  1. Kesimpulan
Hal-hal yang mempengaruhi terbentuk atau tidaknya suatu pemahaman, yang diharapkan sesuai dengan para penganut agama tersebut ataupun secara universal adalah salah satu hal yang sangat berpotensi besar untuk menjadi sumber “motivasi” guna terbentuknya suatu pemahaman tersebut.
Kurang atau tidak adanya kerjasama proporsional antara wahyu dengan akal berkaitan dengan interpretasi, pada gilirannya dapat melahirkan pasangan-pasangan pilihan yang berlawanan. Misalnya, cara pemahaman tekstual dan kontekstual, jalan Ilahi dan jalan keduniaan, pilihan antara idealis dan realis, dan lain sebagainya. Dan cara demikian menghasilkan pemahaman yang bersifat parsial.



Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, 2010, Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama (SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, edisi revisi)

Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam,dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metode Penelitian Agama; Sebuah Pengantar

Asifudin, Janan, Ahmad, 2004, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah University Press, Cet, pertama)

Mattulada, Penelitian Berbagai Aspek Keagamaan, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama

Naik, Zakir, 2000, Video Debat Kristologi Terseru al-Qur’an dan Injil dalam Mengupas Ilmu Pengetahuan (ICNA Islamic Circle of North America Chicago, U.S.A.)

Pertemuan perkuliahan, 2011, Pendekatan Dalam Pengkajian Islam dengan Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah.

Raji al-Faruqi, 1989, Islamization of Knowledge, The International Institute of Islamic Thought, United States of America

Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam

Sutrisno, 2008, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan (Yogyakarta: Kota Kembang, cetakan ke II)

Tashakkori, Abbas, & Teddlie, Charles, Mengombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif
____________________________________________________________
1 Pertemuan perkuliahan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam dengan Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah 11 Maret 2011
2 Mattulada, Penelitian Berbagai Aspek Keagamaan, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama, hal. 55-57
3 Abdur Razaki, Penelitian Dalam Perspektif Budaya, makalah disampaikan pada Studium General yang diselenggarakan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 14 Mei 2005
4 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, hal. v.
5 Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam, hal. 237-248
6 Ibid, hal.. 249-266
7 Amin Abdullah. Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama (SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, edisi revisi 2010) hal. 202
8 Ibid, hal. 203
9 Ibid hal. 205
10 Ibid, hal. 206
11 Amin Abdullah. Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama (SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, edisi revisi 2010) hal. 207
12 Ibid, hal. 210
13 Zakir Naik, berasal dari India dalam ICNA Islamic Circle of North America Chicago, U.S.A. Debat Kristologi Terseru al-Qur’an dan Injil dalam Mengupas Ilmu Pengetahuan
15 Ibid,
16 A. Ludjito, Mengapa Penelitian Agama, dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah Dan Pemikiran, hal. 18
17 Mattulada, Studi Islam Kontemporer, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metode Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, hal. 4
18 Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam,dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metode Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, hal. 130
19 Zakir Naik, berasal dari India dalam ICNA Islamic Circle of North America Chicago, U.S.A. Debat Kristologi Terseru al-Qur’an dan Injil dalam Mengupas Ilmu Pengetahuan
20 Ibid,
21 Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan (Yogyakarta: Kota Kembang, cetakan ke II, Mei 2008), hal. 1. Lihat juga Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, The International Institute of Islamic Thought, United States of America, 1989, hal 1