Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Tuesday, April 10, 2012

SEJARAH PELETAKAN DASAR-DASAR PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM (MASA NABI DAN ABUBAKAR)



Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Dr. Karwadi, M.Ag.

Disusun Oleh :
Nama : Ari Susanto, S.Pd.I
NIM : 10.223.1154
Prodi : Pendidikan Islam (PI)
Konsentrasi : Manajemen & Kebijakan Pendidikan Islam

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011


A. Pendahuluan
   Dalam perspektif islam manusia sebagai pemikir sekaligus pembuat peradaban memiliki kedudukan dan peran inti sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan paling utama. Sejarah mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan, karena sejarah merupakan pengetahuan mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dan keadaan manusia pada masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan masa kini, dan sejarah sebagai suatu cara yang dengannya fakta-fakta diseleksi, dijabarkan dan dianalisis. Sejarah juga merupakan falsafah yang di dasarkan kepada pengetahuan tentang perubahan-perubahan masyarakat, dengan kata lain sejarah dalam hal ini merupakan ilmu tentang proses suatu masyarakat pada masa lampau.

  Penulis sangat sepakat, perbedaan perspektif karena wawasan dan pengalaman dari setiap orang yang berbeda-beda tidak akan kita identikkan dengan sesuatu hal yang bersifat negatif, akan tetapi “Enrichment perspektif (pengayaan cara pandang atau tinjauan)”, karena perspektif tidak tunggal dan memang harus melalui berbagai sudut pandang disiplin Ilmu Pengetahuan dan teknologi dari setiap orang atau golongan. Maka toleransi dalam hal ini sangatlah diperlukan, itulah sebabnya kita hidup bersosialisasi akan lebih baik secara ilmiah dan riset dari berbagai perspektif untuk menyatakan dan menyimpulkan sesuatu dengan lebih baik.[1]

  Sejarah dalam pandangan Islam tidak hanya berbicara masalah data dan fakta, akan tetapi sejarah merupakan dialektika nilai, pertarungan nilai. Karena sejarah membawa identitas sebuah entitas masyarakat akan masa lalunya. Kemajuan sebuah peradaban salah satunya bertumpu kepada sejarah. Dengan sejarahlah peradaban memiliki jati dirinya yang hakiki. Masyarakat yang melupakan sejarah akan mudah terjangkiti rasa inferior, mudah terombang-ambing dalam sebuah arus yang tidak jelas atau dengan kata lain krisis identitas. Padahal masa depan adalah fungsi dari masa lampau dan masa kini. T.S Eliot mengemukakan hal ini dengan tepat “Masa Kini dan Masa Lampau, Akan Muncul di Masa Depan dan Masa Depan Terdapat di Masa Lampau”.[2]

   Semenjak munculnya, ajaran Islam sebagai agama wahyu yang berlaku bagi seluruh alam. Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir atau penutup para nabi’ tentu memiliki karakter khusus yang merupakan keistimewaan yang Allah anugerahkan terhadapnya. Sehingga setiap detik dan setiap gerakannya bersama para sahabat senantiasa memberikan dampak positif, dan telah banyak memberikan sumbangan kepada dunia Arab khususnya dan seluruh dunia pada umumnya, baik semenjak zaman Rasulullah saw sendiri hingga zaman modern saat ini.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q.S. Yusuf 12 : 111).[3]

B. Pembahasan
1. Sejarah
   Sejarah secara terminology dapat ditelusuri dari asal kata sejarah yang sering dikatakan berasal dari bahasa Arab syajarah, artinya pohon. Secara terminology saja, kata ini memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analobis, karena memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon”, yang berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesan-pesan sejarah di dalamnya, memerlukan kemampuan menangkap pesan-pesan sejarah yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya.[4] Dalam bahasa asing lainnya, peristilahan sejarah disebut histore (perancis), Geschicte (Jerman), histoire atau Geschiedenis (Belanda), dan History (Inggris). Kata history sendiri lebih popular untuk menyebut sejarah dalam ilmu pengetahuan sebetulnya berasal dari bahasa Yunani (istoria) yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis. Sementara itu pengetahuan serupa yang tidak kronologis diistilahkan dengan scientia atau science.[5]

  Menurut ibn Khaldun, sejarah adalah menunjuk kepada peristiwa-peristiwa istimewa atau penting pada waktu atau ras tertentu. Agak berbeda dengan definisi al-Maqrizi, bahwa sejarah adalah memberikan informasi tentang sesuatu yang pernah terjadi di dunia, yang diperkuat oleh Guralnik, History : all Recorded Events of the Past.[6] Meskipun dalam definisi tersebut ada beberapa perbedaan dalam penekanannya, namun mereka sepakat (Ibn Khaldun, al-Maqizi, Guralnik, dll), bahwa sejarah adalah peristiwa masa lalu yang tidak hanya sekedar member informasi tentang terjadinya peristiwa, tetapi juga member interprestasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat hukum kausalitas.[7]

2. Pemikiran
   Pemikiran ialah proses mencari makna serta usaha mencapai keputusan yang wajar.[8] Pemikiran adalah kegiatan berpikir, dan berpikir adalah kegiatan mengolah data virtual yang kita dapat dari memori untuk menemukan jawaban atas apa yang hendak kita pikirkan. Dan hasil pemikiran adalah seperti ide dan gagasan. Pikiran, ide dan gagasan mempunyai wujud memori yang disimpan di otak. Wujud memori manusia adalah selaput mielin yang membungkus akson neuron. dengan memori manusia bisa mengingat, berpikir, bahkan membayangkan (berimajinasi). Ukuran pengetahuan manusia secara fisik adalah tebal mielin itu sedangkan kecerdasan manusia dapat diukur dengan banyak hubungan antara akson. jika hubungan antar neuron semakin banyak, semakin cerdas manusia itu dan kreatif karena dapat menghubungkan data-data dengan banyak cara. kecerdasan adalah ukuran kemampuan manusia dalam menemukan jawaban suatu masalah dengan benar, cepat dan tepat.[9] Sedangkan menurut penulis yang menjadi faktor penentu kecerdasan seorang manusia yang normal adalah “tingkat kesadaran”, karena semakin tinggi tingkat kesadaran seseorang maka semakin banyak sel otak yang aktif, dan satu diantara ribuan sel otak yang sudah aktif akan menambah kecerdasan.

3. Peradaban
   Akar kata peradaban adalah adab berasal dari bahasa Jawa Kawi, peranakan dari bahasa Sangsekerta, yang ucapannya adob yang berarti kesopanan, hormat-menghormati, budi bahasa, etiket, dan lain-lain. Lawan dari beradab adalah biadab, tidak tahu adat, dan sopan santun. Istilah ini juga dijumpai dalam bahasa Arab seperti al-Adab al-Maidah yang artinya tata perilaku/kesopanan dalam meja makan. Adab berarti sopan, kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi-pekerti (tingkah laku). Peradaban juga dipahami sebagai kemajuan (kecerdasan, kebudayaan). Peradaban berarti kemajuan (kecerdasan dan kebudayaan) lahir-batin.[10]

   Selain istilah kultur (culture) dalam artian kebudayaan, dikenal juga istilah sivilisasi (civilization). Kebudayaan sering kali dicampuradukkan atau dianggap memiliki arti dan pengertian yang sama. Untuk memudahkan pemahaman, keduanya diartikan sebagai berikut. Culture = kebudayaan, civilitation = peradaban.[11] Antara dua istilah tersebut memang berbeda dalam pemaknaan dan penerjemahannya. Istilah cultur dalam bahasa Jerman, diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan civilitation, karena kata cultur dalam bahasa Jerman itu bersifat lebih inklusif daripada culture dalam bahasa Inggris.[12]

  Adapun kebudayaan diartikan bersifat sosiologis di satu sisi dan bersifat antropologis di sisi lain.[13] Kebudayaan merupakan sikap batin, sifat dari jiwa manusia, yaitu usaha-usaha untuk mempertahankan hakekat dan kebebasannya sebagai makhluk yang membuat hidup ini lebih indah dan mulia. Sementara itu, peradaban adalah suatu aktivitas lahir yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.[14] Istilah peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang luas sekali.[15] Dengan begitu, walaupun keduanya sangat erat hubungannya, namun pengertiannya tetap berbeda. Seseorang yang beradab belum tentu berbudaya, begitu juga sebaliknya.

   Peradaban (civilitation) dapat diartikan dalam hubungannya dengan kewarganegaraan karena kata itu diambil dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti menjadi seorang warga negara yang berkemajuan.[16] Dalam hal ini peradaban dapat diartikan menjadi dua cara : (1) proses menjadi berkeadaban, dan (2) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju. Berdasarkan pengertian terakhir, suatu peradaban ditunjukkan dalam gejala-gejala lahir, misalnya memiliki kota-kota besar, masyarakat telah memiliki keahlian di dalam industri (pertanian, pertambangan, pembangunan, pengangkutan, dan sebagainya), memiliki tertib politik dan kekuasaan, dan terdidik dalam kesenian yang indah.[17]

   Landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” Islam adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non-samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.[18]

   Maju mundurnya peradaban Islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat Islam itu dicirikan oleh hadirnya kerajaan-kerajaan Islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir Islam.

4. Makna Islam
   Islam adalah agama samawi yang diturunkan oleh Allah swt melalui utusan-Nya, Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[19] Penamaan Islam adalah langsung dijelaskan sendiri oleh sumber ajarannya, al-Qur’an. Salah satu ayat yang menyatakan nama agama ini “Islam”, berbunyi “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”.[20] Para pemeluk ajaran agama tersebut dinamakan Muslim, artinya orang yang membuat perdamaian dengan Tuhan dan dengan sesama manusia, karena kata Islam itu sendiri secara esensial adalah “masuk dalam perdamaian”. Inilah makna Islam dilihat dari sudut bahasa, sekaligus mencerminkan maknanya pada hakekat agama itu.[21] Pengertian lain mengenai kata “Islam” bermakna penyerahan diri atau ketaatan sepenuhnya kepada kehendak Allah untuk mencapai kepribadian yang bersih, maka seseorang muslim selalu menjalin hubungan dengan-Nya dalam kepatuhan, di samping hubungannya secara harmonis dengan sesama manusia.[22]

   Ketika Islam dipahami dalam kaitannya dengan peradaban manusia, maka ia sebagai agama monoteisme dapat menjadi dasar moral dalam pertumbuhan serta perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Bahkan atas dorongan serta kekuatan agama ini akan tercipta suatu peradaban manusia dalam segala aspeknya. Dalam hal ini, peradaban Islam sesungguhnya adalah suatu peradaban yang mempunyai kerangka pedoman berdasarkan wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Kedua sumber intisari ajaran Islam, al Qur’an dan al-Hadits, ini seiring perkembangan zaman dan perluasan wilayah penyebaran Islam telah melahirkan sistem gagasan yang tumbuh melalui jalur-jalur pemikiran keislaman. Secara tradisional, jalur pemikiran yang mendorong gerak peradaban umat Islam, ialah di bidang figh (hukum), tauhid (teologi) dan tasawuf (mistisisme).[23]

   Dalam konteks peradaban, tiga kategori pemikiran tersebut di atas dijabarkan dalam keterpaduan yang khas di tengah pergumulan serta perkembangan “Peradaban Islam”. Keterpaduan ajaran dan pemikiran itu juga pada gilirannya mewujudkan sistem peradaban yang meliputi tiga aspek utama, yaitu materialism, rasionalisme, dan mistisisme.[24]

1. Masa Nabi Muhammad SAW
   Pada saat kondisi politik, ekonomi, sosial, dan agama baik di Barat maupun di Timur sangat kacau, lahir seorang calon tokoh. Besar sepanjang masa yang membangun kekuatan Islam di antara dua kekuasaan besar dunia, di Jazirah Arab, sebagai rahmatan lil `alamin yaitu Muhammad Saw. Telah dipaparkan, bahwa masyarakat Arab penuh dengan masa kegelapan (termasuk mereka menyembah berhala, buatan mereka sendiri), kemudian diutuslah Muhammad saw dengan misi kenabian, yang mengajarkan tiada Tuhan kecuali Allah yang mengetahui segala tingkah laku manusia dan membalas atau menghukum sesuai dengan perbuatannya di akhirat kelak.

   Ketika nabi Muhammad saw muncul sebagai rahmatan lil `alamin, ada dua super power di dunia yaitu Roma timur (Konstantinopel, Eropa Selatan, Asia Kecil, Afrika Utara, dan Mesir) dan Sansania (Asia Tengah dan Barat Daya) yang selalu berperang satu sama lain. Agama yang dianut oleh kedua wilayah tersebut tidak mampu memberikan jalan keluar bagi terciptanya perdamaian. Di Persia, Mazdaisme telah sangat luntur dan berubah menjadi agama Majusi. Di Romawi Timur, agama Nasrani telah dimasuki oleh pelajaran syirik dan menjadi agama olok-olok. Para penguasa dan pemuka agama di kedua wilayah itu menjadikan agama sebagai alat untuk mempermainkan rakyat demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Di Mesir, Afrika Utara, Andalusia, dan Italia terjadi pertentangan yang hebat di antara aliran-aliran agama (Nasrani). Mereka saling sesat-menyesatkan karena persoalan-persoalan yang kecil. Pertentangan itu bertambah rumit karena campur tangan dari pihak penguasa.[25]

    Kehidupan Rasulallah di Makkah lebih menitikberatkan pada penyebaran ajaran agama Islam. Pertama kali yang beliau ajak adalah dari kalangan keluarga sendiri. Kemudian menyebar ke,masyarakat luas, itupun dengan masih sembunyi-sembunyi. Setelah beberapa lama dakwah dilaksanakan oleh nabi secara sembunyi-sembunyi, maka turunlah perintah untuk menyiarkan Islam secara terang-terangan. Setelah dakwah nabi secara terang-terangan, kemudian kaum Quraisy merasa terancam dengan berkembangnya dakwah Islam. Mereka berusaha menghalang-halangi dakwah Islam itu dengan berbagai cara, di antaranya dengan memutuskan hubungan antara kaum muslim dan suku Quraisy, menyiksa mereka yang lemah (sampai-sampai ada yang dibunuh, sehingga Rasulallah memerintahkan agar mereka hijrah ke Habsyi). Ahmad Syalabi mencatat ada lima faktor yang mendorong kaum Quraisy menentang seruan Islam itu, yaitu sebagai berikut :

a. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka beranggapan, bahwa tunduk
    kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abd al-Muttalib.
b. Seruan nabi yang menyamakan kedudukan bangsawan alias konglomerat dengan hamba sahaya. Sabda
   nabi, “kedudukan manusia sama seperti gigi-giginya sisir”[26] “....dan sesungguhnya yang paling mulia di sisi 
  Allah adalah yang paling bertakwa...” (QS. Al-Hujurat : 13).[27] Hadis dan ayat tersebut mengandung  
  makna dan nilai sosial yang tinggi, di mana manusia Arab terbelenggu dengan hegemoni politik kekuasaan
  dari segelintir orang Makkah yang akhirnya mereka mendapatkan kehidupan kemerdekaan yang
   membelenggu dari kungkungan politik waktu itu dan terbebas dari penindasan.
c. Para pemimpin mereka tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di
    akhirat.
d. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang sudah mendarah-daging pada bangsa Arab
e. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang mereka.[28]

   Perlu digarisbawahi, bahwa dalam periode Makkah, dakwah yang dilakukan Nabi ditekankan pada penanaman dasar-dasar keimanan. Hal ini berbeda dengan saat beliau berada di Madinah. Di Madinah, Muhammad menerapkan syariah Islam dan pembangunan ekonomi, sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

   Di samping itu, sekalipun tidak mengenyam pendidikan, Nabi sangat gigih menganjurkan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan. Beliau selalu mendorong masyarakat muslim giat belajar. Betapa sikap Nabi dalam mendorong kegiatan pendidikan terlihat dalam salah satu sabdanya : “bahwasanya tinta seorang alim (ilmuwan) lebih suci daripada para syahid (pahlawan yang gugur di medan juang)”. Setelah hijrah ke Madinah Nabi mengambil prakarsa mendirikan lembaga pendidikan. Pasukan Quraisy yang tertawan dalam perang, Badar dibebaskan dengan syarat mereka masing-masing mengajarkan baca tulis kepada 10 anak-anak muslim. Semenjak saat itu kegiatan baca tulis dan kegiatan pendidikan lainnya berkembang dengan pesat di kalangan masyarakat Madinah. Selanjutnya Madinah tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Islam tetapi sekaligus menjadi pusat pendidikan Islam. Pada saat itu di Madinah terdapat sembilan lembaga pendidikan yang mengambil tempat di masjid-masjid. Di tempat inilah Nabi menyampaikan pelajaran dan berdiskusi dengan murid-muridnya. Para wanita belajar bersama dengan laki-laki. Bahkan Nabi memerintahkan agar tuan-tuan mendidik budaknya, lalu hendaknya mereka memerdekakannya. Pada tiap-tiap kota diselenggarakan semacam pendidikan tingkat dasar sebagai media pendidikan anak-anak. Ketika Islam telah tersebar ke seluruh penjuru Jazirah Arabia, Nabi mengatur pengiriman muallim atau guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan al-Qur’an kepada suku-suku terpenci1.[29]

a. Pemerintahan Nabi SAW
  Kekuasaan tertinggi pemerintahan Islam bersandar pada kekuasaan Allah yang senantiasa menurunkan wahyu al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. Hukum-hukum Allah (syariat Islam), sebagaimana yang terkandung di dalam al-Qur’an, berlaku bagi seluruh ummat Islam, termasuk bagi Nabi sendiri yang menjabat sebagai penguasa negeri Islam. Dalam urusan-urusan yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an, maka keputusannya berada di tangan Nabi. Dalam urusan tersebut, kedudukan Muhammad adalah sebagai kepala pemerintahan. Jadi, Nabi menjabat peran dan fungsi ganda : sebagai fungsi kenabian dan fungsi kepemerintahan. Sekalipun Nabi menjabat sebagai otoritas tertinggi, namun beliau sering mengajak musyawarah para sahabat untuk memutuskan masalah-masalah penting.[30]

  Begitu juga dalam pembentukan sebuah kenegaraan. Negara dan pemerintahan Madinah (karena pemerintahan yang nabi bangun pertama kali di Madinah) adalah bercorak teokrasi yang dikepalai oleh seorang Rasul yakni Muhammad dan ia adalah pemimpin agama. la juga membuat Undang-Undang atas dasar al-Qur’an. Walaupun nabi adalah kepala pemerintahan, namun kedaulatan ada di tangan Allah SWT.[31]
. . . . . . . . . . . . . . . . .
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya dan Maha Terpuji. Apakah kamu tidak melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya” (QS. Al-Hajj : 64-65)

   Muhammad saw sebagai pelaksana, namun ia tidak dapat mengabaikan kedaulatan rakyat. Seperti pada waktu keadaan darurat ia menerima putusan Majelis Syura dan pemerintahan ini juga tidak bercorak Monarkhi tapi Republik. Negara Islam yang dikepalai Muhammad, memberi kemerdekaan individu, kebebasan beragama, hak sebagai warga sosial dan Negara, juga kedaulatan di tangan Allah dan diakui Nabi berkuasa penuh sebagai kepala Negara. Oleh karena itu, para ahli menyebutnya sebagai Islamic State. Ahli politik Barat seperti Bodin, Austin, dan Hobbes menyatakan bahwa dalam pemerintahan di Madinah, Allah memiliki de jure Sovereignty sedangkan Muhammad memiliki de facto Sovereignty.[32]

   Di samping itu, untuk mengendalikan pemerintahan, Nabi di Madinah sudah ada sebuah sekretariat Negara, Negara juga terbagi sembilan provinsi yang dikepalai oleh seorang wali (gubernur), dan sebanyak dua puluh satu yang dikepalai oleh seorang `amil yang tugas utamanya sebagai tax collector. Ada sumber-sumber pendapatan Negara seperti ghanimah, zakat, jizyah[33], kharaj[34] dan fay.[35]

    Dengan demikian, jelas bahwa pemerintahan yang didirikan oleh nabi Muhammad saw di Madinah memiliki ciri khas tersendiri dan sebagai sebuah institusi pemerintahan yang berdaulat. Muhammad saw adalah kepala Negara, sekaligus kepala angkatan bersenjata, ketua pengadilan, dan bertanggung jawab atas departemen-departemen yang dibentuknya. Dalam proses penyebarannya, Islam pada masa nabi mengakomodir setiap budaya lokal dinilai bermanfaat bagi kelangsungan pemerintahan Islam. Namun, lebih jauh mengenai pertukaran budaya dan pemikiran antara Islam dan peradaban di luar Islam terjadi pada masa kekhalifahan Umayah dan mencapai puncak keemasannya semasa Abbasiyah.[36]

2. Masa Abu Bakar
   Sepeninggalnya Rasulullah saw dapat dikatakan bahwa daerah Islam sudah mencapai seluruh jazirah Arab. Bahkan semasa akhir nabi Muhammad saw pun Islam telah memasuki wilayah diluar Arab. Selanjutnya para khalifah (pengganti Rarulullah) sebagai pemegang kekuasaan di kalangan umat Islam, meneruskan usaha Rasulullah saw untuk menyampaikan ajaran dan pendidikan ajaran Islam kedalam lingkungan yang lebih luas.

  Rasulullah wafat tidak meninggal pesan atas pengganti beliau. Tampaknya permasalahan ini diserahkan kepada kaum muslimin sendiri. Maka diadakan musyawarah dan berdasarkan hasil musyawarah yang cukup alot karena masing-masing berhak menjadi pemimpin, sehingga dengan semangat ukhwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih dan mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam dan semua pihak menerima dan membaiatnya.[37]

  Abu Bakar menjadi khalifah dan memerintah mulai tahun 11 H sampai 13 H (632-634 M). sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut khalifah Rasulullah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut Khalifah saja. Khalifah adalah pemimpim yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.

  Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah bersifat sentral, sentral kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.

  Kebijakan Abu Bakar, setelah terpilih menjadi Khalifah, adalah melanjutkan usaha Nabi yang belum sempurna, yaitu ekspedisi usamah bin zaid ke luar negeri (suriah) dan membagi wilayah Arab menjadi dua belas wilayah yang masing-masingdipimpin oleh seorang jenderal. Berkat kesuksesan diplomasi khalifah, dengan mengirim usamah keluar negeri, menimbulkan anggapan diantara musuh-musuh Islam (super power: romawi timur dan persia); negeri Islam sudah kuat karena tidak mungkin mengirim utusan jauh keluar negeri kalau tidak punya kekuatan. Keduanya tidak berani mengganggu wilayah Islam. Dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang unggul, dalam kurun waktu dua tahun lebih Abu Bakar berhasil menyatukan seluruh jazirah Arab kembali seperti semula ketika zaman Nabi.[38]

   Abu Bakar menjadi Khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah madinah. Mereka menganggap bahwa erjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirnya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras dan penentangan mereka yang dapat membahayakan Agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut perrang Riddah (perang melawan kemurtadan). Klaid ibn abn Al-walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam perang Riddah ini.[39]

  Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam palestina, Irak, dan kerajaan hirah. Ia diganti oleh “tangan kanan”nya Umar ibn Khathab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam.[40]

   Kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera beramai-ramaimembaiat Umar. Umar menyebut dirinya khalifah khalifatiRasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman). Karena keberhasilannya menyelamatkan Islam dari kehancuran, maka ia diberi gelar Abu Bakar is the savior of Islam after Prophet Muhammad (sang penyelamat Islam pertama setelah Rasulullah wafat).[41]

C. Kesimpulan
    Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki ciri khas khusus bahwa ia merupakan pengetahuan tentang keseluruhan aspek kemajuan umat Islam di sepanjang sejarahnya. Ilmu ini jelas berorientasi kepada masa lampau berdasarkan peristiwa-peristiwa penting di seputar umat Islam. Peristiwa unik dari peradaban Islam itu dapat dilacak dalam kesejahteraannya yang berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw sampai sekarang, dan dalam penyebarannya melalui kawasan-kawasan yang berbeda latar, kultur serta proses sosial masyarakat bersangkutan. Masing-masing perkembangan peradaban Islam di berbagai kawasan itu hingga kini dapat dipelajari berdasarkan tiga babakan historis, yaitu :

1. Periode awal peradaban Islam di Timur Tengah (abad VII - XIII M)
2. Periode penyebaran peradaban Islam Timur Tengah ke wilayah lain atau disebut juga era penyebaran
    global masyarakat Islam (abad XIII - XIX M)
3. Periode perkembangan Modern Umat Islam (abad XIX - XX M)

   Sementara itu, bahwa dalam periode Makkah, dakwah yang dilakukan Nabi ditekankan pada penanaman dasar-dasar keimanan. Hal ini berbeda dengan saat beliau berada di Madinah. Di Madinah, Muhammad menerapkan syariah Islam dan pembangunan ekonomi, sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

  Dasar berpolitik negeri Madinah adalah prinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Dalam prinsip keadilan diakui adanya kesamaan derajat antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Yang membedakan di antara mereka hanyalah ketakwaan kepada Allah swt. Yang lain adalah prinsip musyawarah untuk memecahkan segala persoalan dengan dalil al-Qur’an.

________________________________________________________

DAFTAR PUSTAKA

A.A.A. Fyzee. 1982. Kebudayaan Islam (Asal-usul dan Perkembangannya), Terj. Syamsuddin Abdullah. Yogyakarta : Bagus Arafah

Abdul Karim. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher

---------------.2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher

Badri Yatim. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Hamka. 1949. Sejarah Umat Islam. Jakarta : Nusantara

Hasyim. 1965. Jawahir al-Adab, Jilid II. Kairo : Maktabah al-Tijjariyah al-Kubra

Harun Nasution. 1978. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I. Jakarta : UI Press

Hassan Ibrahim Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota kembang.

Husaini. 1949. Arab Administration. Madras: Soldent & Co

K. Ali. 2003. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Jakarta : Raja Grafindo Persada

Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana

Muhammad Ali. 1932. Early Caliphate. Lahore: The Civil & Military Gazette Ltd.

Siti Maryam dkk. 2004. Sejarah Peradaban Islam, Dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta : LESFI

Syalabi. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Labib. Jakarta : Pustaka al- Husna

Tim Disbintalad. 2002. Al-Qur’an Terjemahan Indonesia. Jakarta : Sari Agung

Ziauddin Sardar. 1986. Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam, terj. Rahmani Astuti. Bandung : Mizan

_____________________________________________________________________________
Footnote:
[1] Pertemuan perkuliahan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam dengan Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah 11 Maret 2011

[2] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung : Mizan, 1993),hlm.14

[3] Al Qur’an Terjemah Departemen Agama RI, Al Jumanatul ‘Ali. (CV Penerbit J-ART, 2005).

[4] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah : wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1998 ), hlm. 20-21

[5] Siti Maryam dkk. Sejarah Peradaban Islam, Dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta : LESFI, 2004), hlm. 4

[6] Seperti yang dikutip Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 19

[7] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 20

[8] John Barell (1991).

[9] http//tugazku.blogspot.com

[10] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.., hlm. 34

[11] Ibid

[12] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994), hlm. 113

[13] A.A.A. Fyzee, Kebudayaan Islam (Asal-usul dan Perkembangannya), Terj. Syamsuddin Abdullah, (Yogyakarta : Bagus Arafah, 1982), hlm. 9

[14] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban islam..., hlm. 34

[15] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1979), hlm. I93 -104

[16] A.A.A. Fyzee, Kebudayaan Islam ..., hlm. 7-8, lihat juga Siti Maryam, dkk. Sejarah Peradaban.... hlm. 8

[17] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam, Dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta : LESFI, 2004), hlm. 8

[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 2-3

[19] Abdul Karim, Islam Nusantaro (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 26

[20] Tim Disbintalad, AI-Qur’an Terjemahan Indonesia (Jakarta : Sari Agung, 2002), hlm. 93

[21] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam...hlm.

[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta : UI Press, 1978), hlm. 15

[23] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam..., hlm.10

[24] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Is/am, terj. Rahmani Astuti (Bandung : Mizan, 1986), hlm. 34

[25] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta : Nusantara, i949), hlm. 90-91 lihat juga Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban hlm.64

[26] Hasyim, Jawahir al-Adab, Jilid II (Kairo : Maktabah al-Tijjariyah al-Kubra, 1965), hlm.

[27] Tim Disbintalad, AI-Qur’an Terjemah Indonesia..., hlm. 1035

[28] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Labib. (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1993), hlm. 87-90

[29] K. Ali, Sejarah Islam..., hlm. 129-130

[30] Ibid, hlm. 123-124

[31] Husaini, Arab Administration (Madras : Soldent & CO, 1949), hlm. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban..., hlm. 74

[32] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban..., hlm.74

[33] AI-Jizyah berasal dari bahasa Persia dari kata Gezit dan dari istilah Romawi (Bizantium) berasal dari kata Tributum Crapitis, keduanya merupakan pajak yang ditarik sebagai pajak keamanan, sedangkan pada zaman Islam hanya diambil dari laki-laki dewasa non-muslim, apabila dia ikut perang maka ia terbebas dari Jizyah, hasil dari pengumpulan pajak tersebut dialokasikan pada pos-pos untuk gaji, pakaian, makanan dan peralatan ketenteraman.

[34] AI-Kharaj adalah pajak tanah bagi non-muslim yang dibayarkan kepada Negara sebesar lima puluh persen. Dalam bahasa Persia Kharag, sedangkan dari Bizantium berasal dari bahasa Tributum Soli. Ketika Nabi menaklukkan Khaibar orang muslim tidak memiliki tenaga yang memadai untuk mengerjakan sawah, maka nabi mempekerjakan non-muslim, dengan imbalan lima puluh persen mereka membayar kepada Negara.

[35] Rahman, Islam (Dhaka: Bangla Academy, 1977), hlm. 40-57

[36] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban..., hlm. 75

[37] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 35

[38] Muhammad Ali, Early Caliphate (Lahore: The Civil&Military Gazette Ltd., 1932), hlm. 51-52.

[39] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 36

[40] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta:Penerbit Kota kembang, 1989), hlm. 34.

[41] Reza –i-Karim, Arab Jabir Itihash (Dhaka: Bangla Academy, 1972), hlm.108

0 comments:

Post a Comment