Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Tuesday, April 10, 2012

Mutu Layanan dan Pengajaran Pendidikan dalam Perspektif TQM


Oleh: Ari Susanto
A.    Pendahuluan
Gerakan total quality management (TQM) dimulai dari masa studi waktu dan gerak yang diperkenalkan oleh Frederick Taylor pada tahun 1920, dengan mengangkat aspek yang paling fundamental dari manajemen ilmiah, yaitu adanya pemisahan antara perencanaan dan pelaksanaan.[1] Kemudian pada tahun 1931 Walter A. Shewhart dari Bell Laboratories memperkenalkan metode statistik yang dikenal dengan statistical quality control. Tokoh yang dikenal luas dalam TQM adalah Edward Deming. Beliau mengajarkan teknik-teknik pengendalian mutu di U.S. War Department, serta mengajarkan mata kuliah mengenai mutu kepada ihnuan, insinyur, dan eksekutif lembaga Jepang. Berawal dari sinilah TQM berkembang pesat di Negara Sakura. Dan sekarang telah menjadi kenyataan, bahwa produk dari Jepang yang dulunya dikenal sebagai produk rongsokkan dan imitasi murahan, kini justru sebaliknya menjadi produk-produk yang bermutu tinggi dan berkembang pesat di dunia. Perusahaan/lembaga di Jepang menyadari bahwa pada zaman mendatang adalah mutu.
Hal itu bisa dilakukan antara lain dengan menciptakan infra-mutu, yaitu aspek manusia, proses, dan Upaya perbaikan dilakukan dengan mengirimkan tim ke luar untuk mempelajari pendekatan-pendekatan dilakukan lembaga asing dan mengundang dosen-dosen datang ke Jepang untuk memberikan kursus pelatihan kepada para manajer. Hasil dari semua upaya tadi adalah banyak ditemukannya strategi-strategi baru untuk menciptakan revolusi.
Sejak pertengahan tahun 70-an, barang-barang manufaktur Jepang, seperti mobil dan produk-produk elektronika mulai mendominasi perdagangan dunia karena mutu yang dihasilkan sudah melampaui mutu yang dihasilkan pesaingnya dari Amerika dan Eropa. Begitu pula dalam beberapa industri lain, misalnya mesin industri, baja, otomotif, hingga akhirnya industri Barat mulai tergeser. Aspek perhatian atau penekanan Amerika sejak perang dunia II, yakni pada aspek kuantitas dan kurang memperhatikan mutu menjadi .penyebab kegagalan bersaing dengan lembaga Jepang.
Di Indonesia, TQM pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980-an dan sekarang cukup populer di sektor Swasta khususnya dengan adanya program ISO9000. ISO9000 adalah alat pemasaran yang sangat jitu bagi organisasi dengan menunjukkan logo registrasinya yang diakui sebagai standar mutu internasional. BS5750 identik dengan standar eropa EN29000. dan standar mutu Amerika serikat Q90.[2] Banyak lembaga terkemuka dan lembaga milik Negara telah mengadopsi TQM sebagai bagian dari strategi mereka untuk kompetitif baik di tingkat nasional maupun internasional. Dan saat ini keadaan sudah berubah, faktor-faktor yang mendorong sektor Swasta untuk beradaptasi dengan konsep ini, juga memiliki dampak terhadap cara pemerintah menyediakan pelayanan.

B. Konsep TQM dalam Pendidikan
Fungsi, misi, dan kebijakan pendidikan nasional memerlukan sistem pengelola pendidikan secara keseluruhan dan berorientasi pada mutu agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu.[3] Istilah ini lebih populer dalam dunia bisnis dan industri dengan istilah total quality management (TQM). Kata total (terpadu) dalam TQM menegaskan bahwa setiap orang yang berada di dalam suatu organisasi harus terlibat dalam upaya melakukan peningkatan terus-menerus. Kata management berlaku bagi setiap orang, sebab setiap orang dalam sebuah institusi, apa pun status, posisi atau peranannya, adalah manajer bagi tanggung jawabnya masing-masing.[4]
TQM merupakan sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus-menerus yang dapat memberikan seperangkat alat praktis pada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan dan harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk saat yang akan datang. Adapun unsur-unsur manajemen mutu (TQM), antara lain: 1) fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal; 2) obsesi terhadap kualitas; 3) penggunaan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah; 4) komitmen jangka panjang; 5) kerja sama tim (teamwork); 6) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan; 7) perbaikan proses secara berkesinambungan; 8) adanya pendidikan dan pelatihan yang bersifat bottom-up; 9) kebebasan yang terkendali; 10) adanya kesatuan tujuan.[5]
Menurut Santoso, TQM merupakan suatu sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi.[6] Dalam TQM pengejaran terhadap mutu mutlak melibatkan seluruh guru dan staf yang ada di lembaga pendidikan tersebut dengan memprioritaskan kepuasan pelanggan, baik pelanggan internal, dan terutama pelanggan eksternal.
Tentang kepuasan pelanggan sendiri bila didefinisikan maka bermacam pengertian yang disampaikan oleh para pakar. Namun, Kotler suatu ketika mengatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya.[7] Ada lima layanan yang harus diwujudkan agar pelanggan puas. Pertama, keterpercayaan (reliability), artinya layanan sesuai dengan yang dijanjikan, misalnya dalam rapat, brosur, dan sebagainya. Kedua, keterjaminan (assurance), artinya lembaga pendidikan dapat menjamin kualitas layanan yang diberikan, dan beberapa aspek dalam keterjaminan, misalnya kompetensi guru/staf dan keobjektifan. Ketiga, penampilan (tangible), artinya bagaimana situasi suatu lembaga pendidikan tampak baik, dan beberapa aspek dalam penampilan, misalnya kerapian, kebersihan, keteraturan, serta keindahan. Keempat, perhatian (empathy), artinya lembaga pendidikan memberikan perhatian penuh kepada pelanggan, dan beberapa aspek dalam keperhatian, misalnya melayani pelanggan dengan ramah, memahami aspirasi mereka, dan berkomunikasi dengan baik. Kelima, ketanggapan (responsiveness), artinya lembaga pendidikan harus cepat tanggap terhadap kebutuhan pelanggan, dan beberapa aspek dari ketanggapan, misalnya tanggap terhadap kebutuhan pelanggan dan cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan-keluhan yang muncul.[8]
Jika kepuasan pelanggan terpenuhi, selanjutnya akan mendatangkan beberapa manfaat, antara lain: hubungan antara organisasi dengan para pelanggan menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan, membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang menguntungkan bagi perusahaan, reputasi perusahaan menjadi baik di mata pelanggan, dan laba yang diperoleh dapat meningkat.[9]

C. Manajemen Mutu Layanan dan Pengajaran Pendidikan
Untuk mencapai mutu pendidikan yang bagus maka perlu ditopang dengan mutu layanan pendidikan dan pengajaran yang bagus pula. Bahwasanya tujuan dari suatu lembaga pendidikan di Indonesia meliputi pelajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta untuk meningkatkan derajat seorang manusia. Berkaitan dengan hal ini maka bentuk layanan yang diselenggarakan suatu lembaga pendidikan juga meliputi ketiga aspek tersebut. Layanan pengajaran meliputi setiap kegiatan yang diselenggarakan di luar maupun di dalam kelas, layanan penelitian meliputi semua kegiatan penelitian, baik yang diselenggarakan mandiri maupun diwadahi oleh suatu lembaga. Sedangkan layanan pengabdian kepada masyarakat adalah kegiatan pendidikan kepada masyarakat pada umumnya berkaitan dengan hal-hal yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, kegiatan ini bisa dilakukan melalui bentuk kerja sama maupun tidak.[10]
Di lingkungan organisasi non-profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses merupakan bagian yang tidak mudah dalam pengimplementasiannya dalam manajemen mutu terpadu. Kesulitan ini disebabkan ukuran produktivitasnya tidak sekadar bersifat kuantitatif, misalnya hanya dari jumlah lokal dan gedung sekolah atau laboratorium yang berhasil dibangun, tetapi juga berkenaan dengan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkan. Demikian juga, jumlah lulusan yang dapat diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit untuk ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan ini, Hadari Nawari mengatakan jikalau ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, produktivitas internal, berupa hasil yang dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung, dan lokal yang dibangun sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Kedua, produktivitas eksternal, berupa hasil yang tidak dapat diukur secara kuantitatif, karena bersifat kualitatif yang hanya dapat diketahui setelah melewati tenggang waktu tertentu yang cukup lama.[11]
Berbicara mengenai mutu layanan pendidikan dan pengajaran, Handoyo Sumantri, dalam tesis Siti Wahidah menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor utama pendukung.[12]
1.      Penerimaan Siswa Baru
            Penerimaan siswa baru merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya peningkatan mutu layanan pendidikan dan pengajaran. Dalam upaya mendapatkan mutu input siswa yang bagus, maka terdapat beberapa cara penerimaan siswa baru. Pertama, jalur penelusuran minat dan bakat. Penerimaan siswa baru melalui jalur ini sangat memungkinkan sekolah untuk mendapatkan mutu input siswa yang berkualitas serta mempunyai bakat keterampilan tertentu, misalnya dalam bidang seni budaya, olahraga, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan adanya sistem penerimaan siswa baru melalui jalur ini, membuka peluang terjadinya KKN. Kedua, jalur reguler. Jalur penerimaan siswa baru melalui jalur ini adalah yang paling sering digunakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya. Terdapat dua cara jalur regular ini, yaitu melalui dua hal: danem dan tes.[13]
2.      Peningkatan Profesionalisme Guru
Profesi guru di abad 21 ini sangat dipengaruhi oleh pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan bisa melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Guru bukan lagi hanya mengendalikan siswa yang belajar di kelas, tetapi ia mampu membelajarkan jutaan siswa di “kelas dunia” dengan memberi pelayanan secara individual pada waktu yang bersamaan. Dengan bantuan teknologi pembelajaran dapat dilakukan secara multiakses dan memberi layanan secara individual di mana saja dan kapan saja. Guru di masa lalu sangat mengandalkan buku teks sedangkan sekarang dapat memanfaatkan hypertext.
a.      Etos Kerja dan Profesionalisme Guru
Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi, yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi. Gilley dan Eggland mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi aspek ilmu pengetahuan tertentu, aplikasi kemampuan/kecakapan, dan berkaitan dengan kepentingan umum. Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru.[14]
Salah satu sebab terpenting mutu pendidikan nasional yang rendah saat ini, karena pendidikan, selama tiga dekade terakhir, tidak disajikan oleh guru yang profesional. Guru direkrut bukan dari kelompok masyarakat yang terbaik; mereka yang paling berbakat hampir-hampir tidak bersedia menjadikan guru sebagai profesi mereka. Dalam kata lain, pendidikan telah dilakukan oleh para amatir. Dan adanya UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen dimaksudkan untuk secara struktural memperbaiki kondisi keterpurukan profesi guru.
Ketinggian mutu layanan tertentu yang bermartabat dan dihormati disebabkan terutama karena layanan tersebut diberikan oleh para profesional. Siapakah para profesional ini? Mereka adalah sekelompok orang yang terorganisasi yang mempunyai tujuan sama, bekerja dengan suatu kode etik yang ditaati secara konsisten dan senantiasa berusaha mencapai hasil karya lebih baik, lebih sempurna, serta selalu berusaha meningkatkan keahlian profesionalnya agar dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi ilmu pengetahuan yang melandasi profesinya.
Layanan profesional yang sanggup diberikan oleh beragam masyarakat profesi akan ikut menentukan kualitas hidup masyarakat tersebut. Apabila masyarakat profesional tidak sanggup menjunjung tinggi etika profesionalnya, maka masyarakat akan dirugikan karena banyak ragam layanan profesional yang tidak konsisten mutunya. Pelanggaran etika profesi secara lambat tapi pasti mendelegasikan citra dan kepercayaan masyarakat atas sebuah profesi, dan akhirnya merugikan mereka yang sungguh-sungguh menjunjung tinggi kehormatan profesi tersebut.[15] Dan dari sudut pandang apa pun, guru adalah salah satu profesi yang terpenting dalam sebuah peradaban.[16] Pendidikan sebagai upaya sadar yang terencana untuk mengembangkan seluruh ragam potensi manusia sebagai peserta didik sudah jelas menempatkan guru sebagai profesi yang paling menantang. Oleh karena itu, membangun sebuah masyarakat atau organisasi guru yang membangun profesionalitas guru merupakan bagian strategi yang paling penting untuk memperbaiki mutu guru, dan akhirnya menentukan mutu pendidikan nasional kita.
b.      Kompetensi Guru
Pengembangan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi, peningkatan kinerja (performance), dan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senatiasa meningkatkan kemampuan, wawasan, dan kreativitasnya. Tugas guru sebagai pendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap, tetapi mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa depan, dan oleh karena itu guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa siap menghadapi the real life. Guru di masa depan dituntut mengusai dan mampu memanfaatkan teknologi komunikasi serta informasi, dan berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan sesuatu (scientific curiosity). Selain itu guru harus bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom. Peran guru seperti itu sejalan dengan era masyarakat madani (civil society).
Adapun kemampuan-kemampuan yang selama ini harus dikuasai guru juga akan lebih dituntut aktualisasinya, misalnya kemampuannya dalam merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan, mengelola kegiatan individu, menggunakan multimetode, dan memanfaatkan media, berkomunikasi interaktif dengan baik, memotivasi dan memberikan respons, melibatkan siswa dalam aktivitas, mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa, melaksanakan dan mengelola pembelajaran, menguasai materi pelajaran, memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran, memberikan bimbingan, berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen, serta mampu melaksanakan penelitian.[17]
Secara lebih spesiflk guru harus dapat mengelola waktu pembelajaran dalam setiap jam pelajaran secara efektifdan efisien. Untuk dapat mengelola pembelajaran yang efektif dan efisien tersebut, guru harus senantiasa belajar dan meningkatkan keterampilan dasarnya. Menurut Rosenshine dan Stevens, dalam tesis Wahidah, terdapat sembilan keterampilan dasar yang penting dikuasai oleh guru: (1) membuka pembelajaran dengan mereview secara singkat pelajaran terdahulu yang terkait dengan pelajaran yang akan disajikan; (2) menyajikan secara singkat tujuan pembelajaran; (3) menyajikan materi dalam langkah-langkah kecil dan disertai latihannya masing-masing; (4) memberikan penjelasan dan keterangan yang jelas dan detil; (5) memberikan latihan yang berkualitas; (6) mengajukan pertanyaan dan memberi banyak kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pemahamannya; (7) membimbing siswa menguasai keterampilan atau prosedur baru; (8) memberikan balikan dan koreksi; (9) memonitor kemajuan siswa.[18]
Selain itu, tentu saja masih ada keterampilan lain yang harus dikuasai guru misalnya menutup pelajaran dengan baik dengan membuat rangkuman dan memberikan petunjuk tentang tindak lanjut yang harus dilakukan siswa. Pendeknya banyak hal-hal kecil yang harus diperhatikan dan dikuasai oleh guru sehingga secara kumulatif membentuk suatu keutuhan kemampuan profesional yang bisa ditampilkan dalam bentuk kinerja yang optimal.
3.   Kelengkapan Fasilitas Sekolah (Sarana & Prasarana)
Dengan diberlakukannya KTSP, kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan). Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku yang bermutu. Kehadiran Kepmendiknas ini dirasakan sangat tepat dengan harapan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPMB, umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelayanan adalah perihal atau cara melayani; usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang).[19] Sementara, pengertian sarana dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan pemukiman pada pasal 1 (6) disebutkan bahwa sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial ,dan budaya. Nah, dalam melengkapi sarana dan prasarana pendidikan, tentu saja akan terdapat standar tertentu bagi masing-masing satuan pendidikan. Standar tiap satuan pendidikan tersebut adalah sebagai berikut.[20]
1)   Taman Kanak-Kanak (TK)
Yang dimaksud dengan Taman Kanak-Kanak adalah fasilitas pendidikan yang digunakan untuk anak-anak usia 5–6 tahun. Standar untuk TK, sebagai berikut:
a)   Minimum penduduk yang dapat mendukung sarana ini adalah 1000 penduduk dengan usia anak-anak 5–6 tahun = 8%.
b)   Minimum terdiri dari 2 ruang kelas yang masing-masing mampu menampung 35–40 murid dan dilengkapi dengan ruang-ruang lain.
c)   Luas tanah yang diperlukan adalah 1200 m2 dengan luas lantai 252 m2.
d)   Radius pencapaian dari area yang dilayani diusahakan tidak lebih dari 500 m.
2)   Sekolah Dasar (SD)
Sekolah Dasar (SD) adalah fasilitas pendidikan yang dipergunakan untuk anak-anak usia 6 – 12 tahun. Adapun standarnya, sebagai berikut:
a)   Minimum penduduk yang dapat mendukung sarana ini adalah 1600 penduduk.
b)   Minimum terdiri dari 6 ruang kelas yang masing-masing mampu nampung 40 murid dan dilengkapi dengan ruang-ruang lain.
c)   Radius pencapaian dari area terlayani tidak lebih 1000 m.
3)   Sekolah Menengah Pertama
a)   Sekolah Menengah Pertama adalah fasilitas pendidikan yang digunakan untuk menampung lulusan SD.
b)   Minimum penduduk yang mendukung sarana ini adalah 4800 penduduk.
c)   Minimum terdiri dari 6 ruang kelas yang masing-masing mampu menampung 30 murid dan dilengkapi dengan ruang-ruang lain.
d)   Luas lantai 1 SMP umum = 1514 m2 dan luas tanah = 2700 m2.
e)   Luas lantai 1 SMP khusus = 2551 m2 dan luas tanah = 5000 m2.
4)   Sekolah Menengah Atas
a)   Sekolah Menengah Atas adalah fasilitas pendidikan yang digunakan untuk menampung lulusan SMP.
b)   Minimum penduduk yang mendukung sarana ini adalah 6000 penduduk.
c)   Minimum terdiri dari 6 ruang kelas yang masing-masing mampu menampung 30 murid dan dilengkapi dengan ruang-ruang lain.
d)   Luas tanah = 2700 m2.

D. Kesimpulan
Pendidikan merupakan hal penting yang harus ada dalam setiap kehidupan manusia, terutama pada abad-abad terakhir di mana dunia sedang mengalami perubahan teramat pesat. Akan tetapi, yang perlu diingat, bahwa pendidikan itu harus bermutu. Dengan pendidikan yang bermutu, niscaya SDM suatu negara bisa bersaing di kancah dunia. Tidak mudah merancang suatu pendidikan yang bermutu. Harus ada manajemen yang baik di sana. Implementasi Total quality management dalam setiap satuan pendidikan adalah solusi yang tepat. Dengan begitu, layanan dan pendidikan kian bermutu, sesuai dengan apa yang terkonsep dalam TQM sendiri yang lebih mengutamakan kepuasan pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.

_______________________________________
Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Hartono, S.Pd.I. “Evaluasi Program Sertifikasi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta”, dalam proposal tesis yang berjudul, 2011.

Nawawi, Hadari. 2005. Manajemen Strategik. Yogyakarta: Gadjah Mada Pers.

Prawirosentono, Suyadib. 2005. Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu Terpadu Abad 21, Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

Sallis, Edward, 2010, Total Quality Management In Education, Yogyakarta: IRCiSoD, Cetakan IX.

Sallis, Edward. 2006. Total Quality Management in Education, Alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi. Yogyakarta: IRCiSod.

Siti Wahidah, “Manajemen Layanan dan Pengajaran di MAN 2 Ponorogo”. Tesis Program Pascasarjana Manajemen pendidikan Islam, Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo, 2009.

Tjiptono, Fandy, dan Diana, Anastasia, 2003, Total Quality Management, Yogyakarta:  Andi Ofset, Cetakan ke. 10.

Tjiptono, Fandy & Anastasia Diana. 2003. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset.



[1] Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta:  Andi Ofset, Cetakan ke. 10, 2003), hlm. 5
[2] Edward Sallis, Total Quality Management In Education, (Yogyakarta: IRCiSoD, Cetakan IX, 2010), hlm. 121
[3] Definisi relatif tentang mutu memiliki dua aspek: pertama, menyesuaikan diri dengan spesifikasi, sering disimpulkan “sesuai dengan tujuan dan manfaat”; kedua, memenuhi kepuasan pelanggan. Lebih lanjut baca: Edward Sallis, Total Quality Management in Education, Alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi, (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hlm. 54. Sementara, konsep mutu yang relatif bukanlah sebuah akhir, namun sebagai sebuah alat di mana produk atau jasa dinilai, yaitu apakah telah memenuhi standar yang telah ditetapkan, demikian menurut Sallis, lebih lanjut, sebagaimana yang dikutip Hartono, S.Pd.I dalam proposal tesis yang berjudul “Evaluasi Program Sertifikasi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta”, 2011.
[4] Ibid…, Edward Sallis, Total Quality Management in Education, Alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi, (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hlm. 73–74.
[5] Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hlm. 329.
[6] Ibid…, Fandi Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality…, hlm. 4.
[7] Ibid…, Fani Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality…, hlm. 4.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Manajemen Sekolah, (Jakarta: Depdiknas, 2000), hlm. 193.
[9] Ibid…, Fandi Tjiptono & Anastasia Diana Total Quality…, hlm. 102.
[10] Siti Wahidah, Manajemen Layanan dan Pengajaran di MAN 2 Ponorogo, Tesis Program Pascasarjana Manajemen pendidikan Islam, Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo, 2009.
[11] Hadari Nawawi. 2005. Manajemen Strategik. Yogyakarta: Gadjah Mada Pers. Hlm. 57.
[12] Ibid…, Siti Wahidah, Manajemen Layanan dan Pengajaran….
[13] Untuk menjaring siswa baru, sudah umum dilakukan penyaringan dengan cara danem, yaitu suatu lembaga pendidikan akan melihat nilai yang tertera dalam danem calon siswanya, di mana jika tidak sesuai dengan standar kelulusan calon siswa baru maka tidak bisa diterima. Hal ini berbeda dengan cara tes, yakni suatu cara yang dilakukan lembaga pendidikan tertentu untuk menjaring calon-calon siswanya dengan menyelenggarakan tes ujian masuk.
[14] www.uns.ac.id.
[15] Ternyata profesi guru juga mempunyai etika yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga hubungan guru dengan peserta didiknya serta mempererat hubungan antara guru dengan tenaga didik yang lain (antar pendidik). Etika profesi seorang guru yang dilihat dari kepentingan peserta didiknya, di antaranya: (1) guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila; (2) guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan; (3) guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya PBM; (4) guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional; (5) menjaga hubungan baik dengan orang tua, murid, dan masyarakat sekitar untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Sedangkan etika seorang guru juga dapat dilihat dari kepentingan antar pendidik, di antaranya: (1) seorang guru harus saling menghormati dan menghargai sesama rekan seprofesinya; (2) guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya; (3) guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial; (4) guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdiannya; (5) guru bersama-sama melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Lihat http://wartawarga.gunadarma.ac.id.
[16] Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. Lebih lanjut lihat Supriadi, D, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
[17] http://aadesanjaya.blogspot.com.
[18] Ibid…, Siti Wahidah, Manajemen Layanan dan Pengajaran….
[19] KBBI hlm. 571
[20] Ibid…, Siti Wahidah, Manajemen Layanan dan Pengajaran….

0 comments:

Post a Comment