Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Sunday, June 5, 2011

Buku Pendidikan yang Menghidupkan


Prof. Dr Sutrisno, M.Ag.

BAB I PENDAHULUAN Kehidupan umat Islam sekarang yang relatif terpuruk jika dibandingkan dengan umat beragama lain tidak lepas dari aspek sejarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa jika dilihat dari perspektif sejarah, kehidupan umat Islam mengalami pasang surut, naik-turun, dan bergelombang. Umat Islam telah mengalami masa pertumbuhan, perkembangan, kejayaan, kemunduran, dan mulai abad ke-19 ada gejala-gejala menuju kebangkitan kembali.[1] Tetapi, menurut Ismail Raji al-Faruqi, umat Islam sekarang benar-benar terpuruk dan terhina, baik secara fisik maupun mental. Citra umat Islam selalu dipojokkan dengan sebutan agresif, destruktif, ekstrimis, eksklusif, mengingkari hukum, teroris, biadab, fanatik, fundamentalis, dan dunianya selalu dipenuhi dengan pertentangan, perpecahan, dan peperangan, serta dunia Islam adalah dunia yang sakit.[2]Kemunduran umat Islam disebabkan oleh adanya dikotomi ilmu, ilmu tradisional (Islam) pada satu sisi, dan ilmu sekuler modern (umum) pada sisi lain[3], dan telah lama terjadi dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam, yaitu sistem pendidikan tradisional (Islam) dan sistem pendidikan sekuler modern (umum).[4] Buku ini berusaha mengungkap konsep pendidikan yang menghidupkan, yaitu pendidikan yang diselenggarakan secara integratif untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Kelemahan sistem pendidikan umat Islam, karena diselenggarakan secara dualisme, yaitu sistem pendidikan tradisional (Islam) pada satu sisi dan sistem pendidikan sekuler modern (umum) pada sisi lain. Fazlur Rahman berusaha mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, sebagai solusi atas persoalan dualisme sistem pendidikan umat Islam. Menurut Syafi’i Ma’arif, buku Rahman yang berjudul Islam and  Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition semula berjudulEducation and Modernity (Pendidikan Islam dan Modernitas), karena memang buku itu berisi pendidikan Islam dalam perspektif sejarah dengan al-Qur’an sebagai kriterium penilai. Buku itu, terutama bab III, berisi sejarah pendidikan Islam di Mesir, Turki, Iran, India, dan Indonesia. Menurut Ma’arif, Rahman tidak banyak mengenal Indonesia, tetapi dengan sedikit informasi yang diperolehnya, sudah cukup baginya untuk bersikap optimis dalam menatap masa depan Islam di Indonesia.[5] Muhammad Taufik berusaha melacak asal-usul dan perkembangan intelektualisme (pendidikan tinggi Islam) menurut Rahman.[6] Pelacakan Taufik ini terbatas pada asal-usul dan perkembangan pendidikan tinggi Islam, tanpa melihat pendidikan tinggi Islam dari segi faktor-faktor pendidikannya. Karena itu, penelitian Taufik tidak mengungkap sisi-sisi dalam dari pendidikan tinggi Islam, kecuali bentuk kelembagaan yang berupa madrasah, dan bidang kajian (materi) dari lembaga pendidikan tinggi Islam. Penelitian itu tidak sampai mengungkap masalah peserta didik, pendidik, sarana-prasarana pendidikan, pengelola pendidikan, apalagi kurikulum pendidikan tinggi.Kemudian, Muhaimin berusaha meneliti pemikiran Rahman dalam modernisasi pendidikan Islam. Muhaimin melihat dan mengungkap pemikiran pendidikan Rahman dari segi faktor-faktor pendidikan, yang meliputi tujuan pendidikan, sistem pendidikan, peserta didik, pendidik, dan sarana pendidikan. Tujuan pendidikan Islam, menurut Rahman, adalah untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Sikap umat Islam terhadap ilmu pengetahuan harus bersifat positif karena ilmu pengetahuan itu tidak ada yang salah. Seandainya terjadi kesalahan, berarti yang salah itu adalah penggunanya.[7]Sistem pendidikan umat Islam yang terdikotomikan kepada sistem tradisional (Islam) dan modern (sekuler) harus segera dicarikan solusinya. Proses pemecahan masalah atas problem ini dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu yang dipelajari pada sistem pendidikan tradisional dan yang dipelajari pada sistem pendidikan modern secara organis dan menyeluruh. Diharapkan suatu ketika nanti, sistem pendidikan umat Islam dapat menghasilkan ilmuwan sekaliber Ibnu Sina, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Rusyd. Mereka itu adalah ahli ilmu agama sekaligus ilmu umum karena kedua ilmu itu tidak dibedakan apalagi didikotomikan. Pada prinsipnya, ilmu pengetahuan itu adalah satu, yaitu berasal dari Allah SWT. sebagian diwahyukan melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan sebagian lain melalui ayat-ayat kauniyah.[8]Akibat dari adanya sistem pendidikan yang dikotomis ini lahirlah pribadi-pribadi yang memiliki standar moral ganda. Misalnya, seorang muslim yang taat beribadah, pada saat yang lain melakukan korupsi, menindas orang lain, dan melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Untuk mengatasi hal ini, peserta didik harus diberikan pelajaran al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci itu bukan sekedar sebagai sumber inspirasi, tetapi juga sebagai sumber rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang. Cara mengatasi hal di atas perlu juga dilakukan dengan mengajarkan disiplin-disiplin ilmu Islam secara historis, kritis, dan holistik kepada peserta didik.[9]Penelitian Muhaimin, walaupun kelihatan dapat melihat dan mengungkap pemikiran pendidikan Rahman secara komprehensip, tetapi belum dapat memetakan dan mengemas pemikiran pendidikan Rahman sesuai dengan tuntutan pembahasan pemikiran pendidikan kontemporer. Misalnya, melihat pemikiran pendidikan Rahman dari segi kurikulum, yang meliputi tujuan pendidikan, materi atau bahan pendidikan, metode dan strategi pendidikan, serta evaluasi pendidikan secara bulat dan utuh. Muhaimin baru dapat menemukan sebagian dari unsur-unsur kurikulum itu, misalnya tujuan pendidikan, sedikit materi, dan metode pendidikannya, tetapi belum dapat mengungkap materi, metode, dan evaluasi pendidikan menurut Rahman secara mendalam. Unsur-unsur dari kurikulum yang sudah ditemukan itu pun tidak disusun dan dikemas sebagai satu kesatuan sistem yang saling terkait. Pemikiran pendidikan Rahman jika disistematisasikan ke dalam empat unsur utama kurikulum dapat ditemukan sebagai berikut. Tujuan pendidikannya adalah: (1) untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia, (2) untuk menyelamatkan manusia dari diri sendiri oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri, dan (3) untuk melahirkan ilmuwan yang padanya terintegrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum modern, yang ditandai oleh adanya sifat kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berguna bagi umat manusia.Materi pendidikan menurut Rahman, jika dikaitkan dengan klasifikasi ilmu pengetahuan, dapat ditemukan adanya pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang sejarah (sosial), dan pengetahuan tentang manusia (humaniora). Akan tetapi, jika materinya disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang ketiga (sebagaimana tersebut di atas), maka materinya tentu saja terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum modern. Mengenai metode pembelajarannya dilakukan dengan menekankan pada cara-cara memahami dan menganalisis materi pelajaran, bukan sekedar mengulang-ulang materi pelajaran sampai hafal. Lebih dari itu, metode pembelajaran dapat menerapkan metode gerakan ganda (a double movement). Gerak pertama terkait dengan siswa, dan gerak kedua terkait dengan fungsi sosial di masyarakat. Gerak pertama berupa penyadaran pada siswa dan gerak kedua merupakan kemampuan siswa berperan dalam masyarakat. Akhirnya, indikator utama yang dipakai untuk melakukan evaluasi adalah lahirnya ilmuwan yang kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berguna bagi umat manusia.
     Akhirnya, dapat diketahui bahwa jika pendidikan Islam di Indonesia bersedia mengikuti pemikiran pendidikan Rahman, secara berangsur-angsur motivasi umat Islam Indonesia terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu di kalangan umat Islam Indonesia akan semakin terkikis, yang diikuti oleh semakin pudarnya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam di Indonesia. Jika hal ini dapat berjalan dengan baik, tidak mustahil, suatu ketika nanti, pendidikan tinggi Islam di Indonesia dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berharga, yang dapat menyelesaikan problem-problem umat manusia.
     Studi tentang pemikiran pendidikan bisa mengenai kelembagaan, tokoh, fasilitas, pengelolaan, keuangan, sistem, kurikulum, peserta didik, pendidik, dan sebagainya. Pendidikan Islam[10] jika dilihat dari proses pembelajarannya memiliki berbagai faktor, seperti peserta didik, pendidik, kurikulum, sarana, dan lingkungan. Kurikulum menjadi salah satu faktor pendidikan yang sangat penting. Hilda Taba, ketika membahas kurikulum, mulai dari analisis tentang krisis pendidikan.[11] Hal ini dapat dipahami bahwa kalau terjadi krisis dalam pendidikan, faktor yang perlu dilihat lebih dahulu adalah kurikulumnya. Kemudian, dari kurikulum perbaikan pendidikan dapat dimulai. Kurikulum juga dapat dipakai sebagai alat untuk melihat pemikiran pendidikan dari seorang tokoh.Semula terma kurikulum dipakai pada dunia olahraga terutama atletik, dengan pengertian a running course or race course especially a chariot race, yaitu jarak tertentu yang harus ditempuh dalam waktu tertentu (daristart sampai finish). Kemudian, terma tersebut dipakai pada dunia pendidikan dengan pengertian sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dalam waktu tertentu untuk mencapai suatu program (ijazah) tertentu.Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian kurikulum mengalami perluasan makna. Peter F. Oliva memahami kurikulum sebagai a plan or program for the learning experiences that the learner encounters under the direction of the school.[12] Alexander memberikan pengertian kurikulum sebagai the sum total of school’s efforts to influence learning whether in the classroom, on the playground, or out of school.[13] Yaitu segala usaha sekolah untuk mempengaruhi belajar baik di ruang kelas, di tempat bermain, maupun di luar sekolah. Alberty memandang kurikulum sebagai all of the activities that are provided for students by the school.[14]Yaitu semua aktivitas yang disediakan untuk siswa oleh sekolah. Smith memandang kurikulum sebagai a sequence of potential experiences of disciplining children and youth in group ways on thinking and acting.[15] Yaitu sejumlah pengalaman yang potensial untuk mendisiplinkan anak dan pemuda agar mereka dapat berpikir dan berbuat. Hilda Taba memahami kurikulum sebagai a plan for learning,[16]yaitu suatu perencanaan untuk pelajaran. Akhirnya, perlu disimpulkan bahwa kurikulum adalah segala pengalaman anak dibawah bimbingan sekolah (all the experiences that pupils have under the guidance of school). Melalui kajian terhadap berbagai buku tentang kurikulum, akhirnya dapat diketahui bahwa kurikulum pendidikan terdiri dari empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi.[17]   Tujuan pendidikan, sebagai komponen pertama dari kurikulum, adalah sesuatu yang akan dicapai oleh peserta didik melalui proses pendidikan itu. Oliva membedakan istilah “outcome”, “aims”, “curriculum goals”, “curriculum objectives”, “instructional goals”, dan “instructional objectives”. Istilah “outcome” dipakai untuk menunjukkan hasil sementara secara umum. “The aims of education” adalah pernyataan sangat luas dan umum mengenai tujuan pendidikan. “Curriculum goals” (tujuan kurikuler umum) didefinisikan sebagai tujuan umum dan terencana tetapi tanpa disertai kriteria pencapaiannya, sedangkan “curriculum objectives” ( tujuan kurikuler khusus) adalah target khusus dan terencana serta disertai dengan kriteria pencapaiannya. “Instructional goals” (tujuan pembelajaran umum/TPU) adalah pernyataan mengenai target pembelajaran umum, yang dibuat dengan istilah tidak operasional dan tidak dapat diukur, serta dengan tanpa kriteria pencapaiannya, sedangkan “instructional objectives” (tujuan pembelajaran khusus/TIK) adalah perilaku peserta didik yang diharapkan, yang dibuat dengan istilah operasional serta dapat diukur.[18] Berbagai macam istilah tujuan pendidikan seperti tersebut di atas, perlu disederhanakan guna untuk melihat tujuan pendidikan menurut Rahman. Misalnya, cukup dengan dua istilah tujuan pendidikan, yaitu tujuan pendidikan secara khusus dan tujuan pendidikan secara umum. Misalnya, tujuan pendidikan secara khusus menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kritis dan kreatif. Kemudian, tujuan pendidikan secara umum adalah untuk memungkinkan manusia memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.[19]Komponen yang kedua dari kurikulum adalah materi atau bahan pendidikan. Materi atau bahan pendidikan bisa berupa kitab kuning (seperti di pesantren-pesantren salaf), buku-buku, jurnal-jurnal, laporan-laporan hasil penelitian, dan apa saja yang dapat digunakan sebagai konteks untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Materi pendidikan pada masa sekarang diatur dalam bentuk nama-nama mata pelajaran atau matakuliah sesuai dengan nomenklatur keilmuannya. Dari masing-masing mata pelajaran atau mata kuliah tersebut terdapat sekian banyak literatur yang berfungsi sebagai bahan atau sumber pembelajaran. Kemudian, pembahasan kerangka materi seperti tersebut akan digunakan untuk melihat seperti apa bahan atau sumber pendidikan menurut Rahman. Misalnya, Rahman dengan mengacu kepada al-Qur’an meminta manusia supaya mempelajari apa yang terdapat pada diri manusia itu sendiri, alam semesta, dan sejarah umat manusia.[20] Dari sini barangkali dapat dilacak materi atau sumber pendidikan menurut Rahman.Komponen kurikulum yang ketiga adalah metode pendidikan. Metode pendidikan diperlukan untuk mengatur proses pembelajaran mulai dari persiapan sampai dengan melakukan evaluasi. Adalah John P. Miller, seorang ahli metode pembelajaran dari Ontario Institute for Studies in Education yang banyak melakukan kritik terhadap metode pembelajaran. Menurut Miller banyak peserta didik yang tidak tertarik belajar di kelas, bahkan mereka merasa tersiksa. Oleh karena itu, disusunlah model pembelajaran yang menarik bagi peserta didik dengan diberi nama Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education.[21] Melvin L. Silberman mengemukakan 101 strategi pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik. Menurut Silberman jika peserta didik hanya mendengarkan pelajaran, mereka akan lupa; jika mendengar dan melihat, mereka ingat sedikit; jika mereka mendengar, melihat dan melakukan diskusi, mereka akan faham; jika mereka mendengar, melihat, berdiskusi dan melakukan, mereka akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan; dan jika mereka dapat mengajarkan kepada peserta didik lain, mereka akan menguasainya.[22] Kemudian, metode dan strategi pembelajaran tersebut akan digunakan untuk melihat dan meneliti metode pembelajaran menurut Rahman. Rahman banyak melakukan kritik terhadap metode pendidikan umat Islam terutama pada abad pertengahan yang hanya sekedar mengulang-ulang pelajaran sampai hafal. Metode semacam ini disebut metode mekanis. Sebaliknya, Rahman menyarankan kepada umat Islam agar menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melakukan observasi, analisis, dan eksperimen.[23] Disamping itu, Rahman juga mengemukakan metode gerakan ganda. Metode ini dapat dipahami, dirumuskan kembali dan diterapkan dalam proses pembelajaran.Komponen kurikulum yang keempat adalah evaluasi hasil belajar. Evaluasi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan telah dicapai peserta didik. Evaluasi hasil belajar yang baik adalah evaluasi yang dapat mengevaluasi semua proses pendidikan mulai dari awal sampai akhir, yang dapat mengevaluasi baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. William E. Blank mengemukakan suatu jenis evaluasi yang disebut dengan evaluasi performansi. Menurut Blank hanya dengan evaluasi performansi seorang pendidik dapat mengetahui bahwa peserta didiknya telah mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan atau belum.[24] Kemudian, evaluasi jenis ini akan digunakan untuk melihat pemikiran pendidikan neomodernisme Rahman. Misalnya, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pendidikan menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi pribadi yang kritis dan kreatif yang memungkinkannya memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan ini telah dicapai oleh peserta didik, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap performansi peserta didik terutama dari sifat kritis dan kreatif, dari segi kemampuan memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan manusia, dan dari segi keberhasilannya menciptakan keadilan, kemajuan, serta keteraturan dunia.Kemudian, Pendidikan Islam, jika dilihat dari proses pengembangan kurikulumnnya, dapat diketahui adanya tiga langkah kegiatan, yaitu merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi. Sebagaimana disebutkan oleh Murry Print berikut: “ Once a curriculum has been conceptualized, through the process of curriculum planning and incorporating a curriculum design, it may then be developed, usually to become a written document and finally to be implemented and evaluated. …the process of planning, implementing, and evaluating learning opportunities intended to produce desired changes in learners”.[25] Ketiga langkah kegiatan tersebut dapat diskemakan sebagai berikut.

PERENCANAAN, IMPLEMENTASI, EVALUASI


     Kegiatan perencanaan meliputi pengembangan kurikulum dan silabus. Dalam pengembangan kurikulum biasanya dimulai dari pengembangan landasannya, yang meliputi landasan yuridis/normatif, filosofis, sosiologis, dan psikologis. Landasanyuridis/normatif bisa berupa aturan-aturan normatif atau  peraturan perundang-undangan. Landasan filosofis berupa pandangan hidup suatu bangsa atau umat beragama tertentu. Landasan sosiologis adalah landasan empiris yang mengarahkan pendidikan itu akan dibawa ke masyarakat seperti apa. Landasan psikologismenjadi pedoman untuk menentukan tingkat kematangan kejiwaan peserta didik yang akan dihasilkan oleh pendidikan tersebut.Keempat landasan pengembangan kurikulum itu akan digunakan untuk melihat konsep pendidikan Rahman. Misalnya, dapat diketahui bahwa landasan normatif dari pendidikan Rahman adalah al-Qur’an dan al-Sunnah; landasan filosofisnya adalah pandangannya terhadap kesatuan Tuhan, alam semesta dan manusia, landasan sosiologisnya adalah sejarah peradaban umat manusia, dan landasan psikologisnya adalah kebebasan jiwa manusia untuk menentukan pilihannya sendiri’ dengan penuh tanggungjawab. Setelah keempat landasan tersebut terumuskan dengan baik, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan pendidikan, menentukan materi pendidikan, metode pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar. Setelah itu, baru dapat dilakukan pengembangan silabus. Silabus pada hakekatnya dibuat untuk menyusun komponen-komponen yang ada pada kurikulum tersebut secara logis dan sistematis. Oleh karena itu, komponen-komponen yang harus ada pada silabus adalah keempat komponen yang ada dalam kurikulum, kemudian ditambah alokasi waktu, media pembelajaran, dan sumber pembelajaran. Setelah silabus tersusun dengan baik, kegiatan selanjutnya adalah implementasi. Implementasi merupakan kegiatan pembelajaran dengan materi sebagai konteks untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Kemudian, kegiatan terakhir adalah melakukan evaluasi hasil belajar. Persoalannya adalah apakah pemikiran pendidikan Rahman dapat dilihat dan dimasukkan ke dalam tiga langkah kegiatan pengembangan kurikulum sebagaimana tersebut di atas? Jika dapat, kira-kira seperti apa wujudnya, dan bagaimana implementasinya pada pendidikan Islam di Indonesia? Jawaban terhadap persoalan-persoalan itu akan ditemukan pada bab-bab berikutnya.





[1] Pembagian ini tidak mengikuti pembagian menurut Harun Nasution dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode besar, yaitu (1) periode klasik (650-1250 M) yang merupakan zaman kemajuan, (2) periode pertengahan (1250-1800 M), merupakan fase kemunduran dan stagnasi, dan (3) periode modern (1800- sekarang) adalah masa kebangkitan kembali umat Islam. Lebih lanjut lihat Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 12-14. Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam perspektif sejarah, babakan studi Islam dapat dilihat dalam empat dimensi waktu, yaitu: (1) klasik (abad 9-14 M), (2) pra-modern (abad 15-17 M), modern (abad 18-20 M), dan  (4) neo-modern (mulai Rahman dst). Secara lengkap baca A. Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 34-37.
[2] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, The International Institute of Islamic Thought, United States of America, 1989, hlm.1
[3] Dalam hal ini Fazlur Rahman menjelaskan: …the most fateful distinction that came to be made in the course of time was between the religious sciences (ulum shariah) or traditional sciences and the rational or secular sciences (ulum aqliya or ghayr shariya), toward which a gradually stifling attitude was adopted. Lebih lanjut lihat Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The Uiversity of Chicago Press, Chicago, 1984, hlm. 33.
[4] Lihat Fazlur Rahman, Islamic Studies, 6, No. 4, (Desember 1967), hlm. 320-326. 
[5] Lihat “Kata Pengantar dalam buku Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (Terj. Ahsin Mohammad) Pustaka, Bandung, cetakan II, 1995, hlm. vi-viii.
[6] Penelitian berjudul “Transformasi Sebuah Tradisi Intelektual, Asal Usul dan Perkembangan Pendidikan Islam” semula thesis M. Ag di PPs IAIN Sunan Kalijaga, kemudian dimuat dalam Al-Jami’ah, No. 63/VI/ 1999, hlm. 128-150.
[7] Muhaimin, dkk., Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Pustaka Dinamika, Cirebon, 1999, hlm. 110.
                [8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 111-112.
[10] Kata pendidikan sinonim dengan kata tarbiyah (dalam bahasa Arab). Pendidikan Islam (terjemahan dari tarbiyah Islamiyah) dipahami sebagai proses untuk mengembangkan fitrah manusia, sesuai dengan ajarnya (pengaruh dari luar). Baca Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm. 25.  Naquib al-Attas menekankan pendidikan Islam sebagai proses untuk membentuk kepribadian Muslim. Lihat Aims and Objectives of Islamic Education, King Abdul Aziz University, Jeddah, 1979, hlm. ix. Pendidikan dipandang sebagai sistem sosial yang dapat membentuk subsistem-subsistem dalam sistem sosial secara total. Lihat Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, Westview Press, 1991, hlm. 113. Pendidikan merupakan proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam individu dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan. Lihat Omat Mohammad at-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,Penerjemah Dr. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 399. Pendidikan Islam dipahami sebagai pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Lihat Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm. 39. Pendidikan Islam sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akherat. Lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, al-Ma’arif, Bandung, 1980, hlm. 94.
[11]Lihat Hilda Taba, Curriculum Development, Theory and Practice, Harcourt, Brace & world, Inc., New York, 1962, hlm. 1-3.
[12] Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, Harper Collins Publishers, United States of America, Third Edition, 1992, hlm. 20.
[13] Lihat J. G. Saylor, dan W. M. Alexander, Curriculum Planning for Better Teaching and Learning, Rinehart, 1954, hlm. 9.
                [14] Lihat Harold B. Alberty, Reorganizing the High School Curriculum, McMillan Company, New York, 1965.
[15] Lihat B. O. Smith, W. O. Stanly, and H. J. Shores, Fundamentals of Curriculum Development, World Book Co., New York, 1959, hlm. 3.
[16] Lihat Hilda Taba, Curriculum Development, Theory and Practice, Harcourt, Brace & world, Inc., New York, 1962.
[17] Dasar yang digunakan untuk menyimpulkan dapat dilihat pada S. Nasution,Pengembangan Kurikulum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 12, lihat pula Nana Syaudah Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Rosda, Bandung, 2000, hlm. 110, dan buku-buku lain tentang kurikulum.
[18] Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, Harper Collins Publishers, United States of America, Third Edition, 1992, hlm. 181-182.
[19] Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems” dalam Islamic Studies 6, no. 4, 1967, hlm. 315.
[20] Ibid., hlm. 316.
                [21] Lebih lanjut baca John P. Miller, Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education, Praeger Publishers, New York, 1976.
[22] Lebih lanjut baca Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach any Subjects, Allyn & Bacon, USA, 1996.
[23] Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems” dalam Islamic Studies 6, no. 4, 1967, hlm. 317-320.
[24] Lebih lanjut baca William E. Blank, Handbook for Developing Competency-based Training Programs, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1982, hlm. 153-158.
[25] Murry Print, Curriculum Development and Design, Allen & Unwin, Australia, 1993, hlm. 23.

0 comments:

Post a Comment