Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Sunday, April 3, 2011

FIQIH PRIORITAS

Oleh: Ari Susanto
(Makalah Waktu s1)
A.    Pendahuluan
          Fiqih menurut bahasa artinya mengerti atau faham, sedangkan menurut istilah artinya pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui jalan ijtihad. Contohnya adalah pengetahuan tentang wajibnya niat dalam ber-wudhu, difahami dari sabda Rasulullah SAW., “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, …”. (HR. Bukhari dan Muslim).
          Adapun pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang tanpa melalui jalan ijtihad tidak disebut fiqih,  seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina dan khomer tidaklah disebut fiqih karena pengetahuan tentang itu tidak melalui jalan ijtihad.
Sesungguhnya perbedaan pendapat sudah ada sejak zaman dahulu, sejak masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam-imam mujtahid, bahkan sejak masa Rasulullah masih hidup. Dan perbedaan pendapat yang ada tidak menjadikan mereka berpecah belah. Apakah yang menyebabkan perbedaan pendapat bisa terjadi? Dan bagaimanakah kita harus menyikapi perbedaan pendapat itu?

B.     Pembahasan
1.      Prioritas Perkara Pokok Atas Perkara Cabang
Perhatian utama yang harus kita  berikan  dalam  perkara  yang diperintahkan ini  ialah  memberikan prioritas kepada perkara pokok atas cabang. Yaitu mendahulukan  perkara-perkara  pokok, mendahulukan  hal-hal  yang  berkaitan dengan iman dan tauhid kepada  Allah,  iman  kepada  para  malaikatNya,   kitab-kitab suci-Nya,  rasul-rasul-Nya,  dan  hari  akhir;  yang dikatakan sebagai rukun iman sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an:
§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur ÇÊÐÐÈ
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …”. (Al-Baqarah:177)'

z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur Ÿw ä-ÌhxÿçR šú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ß 4 (#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy $oY÷èsÛr&ur ( y7tR#tøÿäî $oY­/u šøs9Î)ur 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ
Artinya : “Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”. (Al-Baqarah: 285)

`tBur  öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ

Artinya : “…barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa': 136)

Tidak ada ayat yang menyebutkan iman kepada  takdir  sekaligus memasukkannya  ke dalam pokok aqidah, karena sesungguhnya iman kepada takdir ini sudah termasuk di dalam  iman  kepada  Allah SWT.  Iman  kepada  takdir  merupakan  bagian dari iman kepada kesempurnaan  Ilahi,   ilmu-Nya   yang   meliputi   segalanya, kehendak-Nya yang luas, dan kekuasaan-Nya yang pasti Aqidah  adalah  masalah  pokok, sedang syari'ah adalah perkara cabang. Iman adalah perkara pokok, sedangkan amalan merupakan  perkara cabang.
Kami  tidak  ingin  memperpanjang  perbincangan para ahli ilmu kalam di sekitar hubungan amal dan iman, apakah amal merupakan bagian  dari  iman, ataukah dia merupakan buah darinya? Apakah iman merupakan syarat bagi terwujudnya  amal  sekaligus  bukti bagi kesempurnaannya?
Keimanan  yang  benar harus membuahkan amalan. Sejauh keimanan yang dimiliki oleh seseorang, maka akan sejauh itu  pula  amal perbuatannya,  dan sejauh itu pula dia melakukan perintah yang diberikan kepadanya, serta menjauhi larangannya.
Amal perbuatan yang tidak dilandasi  dengan  iman  yang  benar tidak  akan  ada  nilainya  di  sisi  Allah  SWT;  sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an berikut ini:
¥>#uŽy£x. 7pyèÉ)Î/ çmç7|¡øts ãb$t«ôJ©à9$# ¹ä!$tB #Ó¨Lym #sŒÎ) ¼çnuä!$y_ óOs9 çnôÅgs $\«øx© yy`urur ©!$# ¼çnyZÏã çm9©ùuqsù ¼çmt/$|¡Ïm 3 ª!$#ur ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$# ÇÌÒÈ
Artinya : “…laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (An-Nur: 39).

Oleh karena itu, perkara paling utama  untuk  didahulukan  dan harus diberi perhatian yang lebih daripada yang lainnya adalah meluruskan aqidah, memurnikan tauhid, memberantas  kemusyrikan dan  khurafat,  mengokohkan  benih-benih  keimanan dalam hati, sehingga membuahkan hasil yang bisa dinikmati dengan izin dari tuhannya,  yang  akhirnya kalimat tauhid "La ilaha illa Allah" dapat  bersemayam  di  dalam  jiwa,  menjadi   cahaya   hidup, menerangi    gelapnya    pemikiran   manusia   dan   kegelapan perilakunya.
Al-Muhaqqiq Ibn al-Qayyim berkata, "Ketahuilah bahwa  pancaran sinar 'La ilaha illa Allah' akan dapat menghancurkan noda-noda dosa sesuai  dengan  kadar  kekuatan  dan  kelemahan  pancaran cahaya   itu.  Orang  yang  memiliki  pancaran  cahaya  inipun bermacam-macam kekuatan dan kelemahannya, dan tidak  akan  ada orang  yang  dapat  menghitungnya kecuali Allah SWT.. Di antara manusia terpadat orang  yang  memiliki  cahaya  itu  di  dalam hatinya  bagaikan  matahari;  ada yang cahaya di dalam hatinya itu bagaikan  bintang;  ada  cahaya  yang  bagaikan  api  yang membara;  ada  yang  seperti lentera; dan yang terakhir sekali bagaikan lampu yang sangat lemah sinarnya."
Oleh karena itu, pada hari kiamat kelak cahaya-cahaya itu akan tampak   sesuai  dengan  kadar  keimanan  yang  dimiliki  oleh manusia. Cahaya itu akan memancar sesuai dengan ilmu dan amal, makrifat  dan  keadaan  cahaya kalimat yang memancar dari hati manusia.
Semakin besar  pancaran  cahaya  kalimat  itu  di  dalam  hati manusia,  maka ia akan membakar segala bentuk syubhat dan hawa nafsu sesuai dengan kekuatannya. Sehingga kadar pembakaran itu sampai   kepada   tingkat  pembersihan  yang  sangat  sempurna terhadap syubhat dan syahwat; yang  pada  akhirnya  tidak  ada dosa  kecuali  dosa  itu  akan dibakar olehnya. Itulah keadaan
orang  yang  tauhidnya  benar,  yang   tidak   mempersekutukan sesuatupun dengan Allah SWT.. Siapa  yang  memahami  makna  uraian  tersebut,  maka dia akan mengetahui makna sabda Nabi saw. yang artinya :
"Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah, semata-mata untuk mencapai keridhaan-Nya."
  
"Tidak akan masuk api neraka orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah,"
Dan juga sabda-sabda beliau yang lainnya yang  banyak  membuat kemusykilan   bagi  manusia,  sehingga  mereka  menduga  bahwa hadits-hadits itu telah dihapuskan. Ada  pula  yang  menyangka bahwa  hadits-hadits  itu diturunkan sebelum turunnya perintah dan larangan, serta mapannya syari'ah ini. Sebagian yang  lain mengartikannya  api  kaum musyrik dan kafir. Dan ada pula yang mentakwilkan dengan masuk selama-lamanya ke dalam neraka,  dan berkata,   "Maknanya  ialah  tidak  memasuki  neraka  tersebut selama-lamanya."  Dan  lain-lain   pentakwilan   yang   kurang menyenangkan.
Penetapan  syari'ah  agama ini, Nabi saw. tidak menjadikan hal itu bisa dicapai dengan hanya mengucapkan melalui lidah  saja. Dan  inilah yang sepatutnya diketahui oleh orang banyak ketika mereka  menjalankan  ajaran  agama  ini.  Kalimat  itu   harus diucapkan  melalui  hati  dan  lidah.  Ucapan melalui hati ini mencakup pengetahuan, pembenaran  terhadap  kalimat  tersebut, dan  pengetahuan  terhadap hakikat yang dikandungnya. Ada yang dinafikan dan ada yang ditetapkan. Seseorang mesti  mengetahui hakikat Ilahiah yang harus dinafikan dari selain Allah, karena ia hanya  kbusus  bagi-Nya;  serta  ada  sesuatu  yang  sangat mustahil  dimiliki  oleh  sesuatu  selain  Allah SWT. Wujudnya makna seperti ini  di  dalam  hati secara  ilmu,  ma'rifah, keyakinan  dan  kenyataan  sudah  pasti  dapat menyelamatkan orang yang mengucapkannya dari api neraka.
Orang yang mengucapkan  kalimat  ini  dengan  lidahnya,  tidak memperhatikan  maknanya,  dan  tidak menghayatinya, dan ucapan lidahnya tidak sampai kepada hatinya, tidak  mengetahui  kadar dan  hakikatnya,  tetapi dia mengharapkan pahala darinya, maka dia hanya akan diperhitungkan berdasarkan apa yang terdapat di dalam  hatinya. Karena sesungguhnya semua amal perbuatan tidak akan  diberi  keutamaan   dari   segi   bentuk   luarnya   dan kuantitasnya.  Amal buatan manusia akan diperhitungkan menurut keyakinan yang telah ada di dalam hatinya. Dua hal ini (bentuk luar  dan  keyakinan  dalam  hati)  akan dihitung sebagai satu kesatuan. Perbedaan di antara kedua hal  ini  adalah  bagaikan langit dan bumi. Sebagaimana adanya dua orang yang shalat pada satu baris, tetap  kedudukan  shalat  mereka  berbeda  seperti langit dan bumi.

2.      Prioritas Ilmu Atas Amal
Di antara pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas  ilmu atas  amal.  Ilmu  itu harus didahulukan atasamal, karena ilmu merupakan petunjuk  dan  pemberi  arah  amal yang  akan  dilakukan.  Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya”.
Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang  ilmu dalam Jami'  Shahih-nya, dengan judul ”Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan”. Para pemberi syarah  atas  buku  ini menjelaskan  bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi  syarat  bagi  ke-shahih-an  perkataan dan  perbuatan seseorang.  Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu  didahulukan  atas  keduanya.  Ilmulah yang membenarkan  niat  dan  membetulkan  perbuatan yang akan dilakukan. Mereka mengatakan:  "Bukhari  ingin  mengingatkan orang  kepada  persoalan  ini,  sehingga  mereka  tidak  salah mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat  kecuali disertai  dengan  amal  yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya”.
Imam Bukhari mengemukakan  alasan  bagi  pernyataannya  itu  dengan mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw :
”Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan...”.

Oleh karena itu,  Rasulullah  saw  pertama-tama  memerintahkan umatnya  untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam ayat  itu  ditujukan  kepada  Nabi saw,  tetapi ayat ini juga mencakup umatnya.
Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini :
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøƒèC ¼çmçRºuqø9r& šÏ9ºxx. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 žcÎ) ©!$# îƒÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ
Artinya : ”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Fathir : 28).

Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada  Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.
Sementara   dalil   yang   berasal  dari  hadits  ialah  sabda Rasulullah saw :
"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya”.

Karena bila dia memahami ajaran agamanya,  dia  akan  beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik.
Dalil   lain   yang   menunjukkan   kebenaran   tindakan  kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali diturunkan ialah  "Bacalah."  Dan  membaca  ialah  kunci ilmu pengetahuan;  dan  setelah itu baru  diturunkan  ayat   yang berkaitan dengan kerja; sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya : ”Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah”. (QS. Al-Muddatstsir: 1-4).
Sesungguhnya ilmu  pengetahuan  mesti  didahulukan  atas  amal perbuatan,  karena  ilmu  pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat  manusia; antara  yang  benar  dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan  dan  yang  bid'ah dalam  ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang  halal  dan  tindakan yang  haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang  ditolak; antara  perbuatan  dan  perkataan yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima.
Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita yang   memulai   karangan   mereka  dengan  bab  tentang  ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh  Imam  al-Ghazali ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin. Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh  al-Mundziri  dengan bukunya   at-Targhib   wat-Tarhib.   Setelah  dia  menyebutkan hadits-hadits tentang  niat,  keikhlasan,  mengikuti  petunjuk al-Qur'an  dan  sunnah  Nabi saw; baru dia menulis bab tentang ilmu pengetahuan.
Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan  ini  dasar  dan porosnya ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus diakhirkan.  Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah, dan melakukan tindakan yang tidak karuan.
Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin  Abd al-Aziz,  "Barangsiapa  melakukan  suatu  pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak  lebih  banyak daripada apa yang dia perbaiki”.
Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan,  keikhlasan, dan   semangatnya; tetapi   mereka   tidak   mempunyai  ilmu pengetahuan,  pemahaman  terhadap tujuan  ajaran  agama,  dan hakikat agama itu sendiri.
Seperti  itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a.  yang  banyak  memiliki  keutamaan  dan  sumbangan kepada  Islam,  serta memiliki  kedudukan  yang  sangat dekat dengan Rasulullah  saw  dari  segi nasab,  sekaligus  menantu beliau   yang  sangat  dicintai  oleh  beliau.  Kaum Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.
Mereka,   kaum   Khawarij   ini,   merupakan  kelanjutan  dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang  pernah dilakukan  oleh Rasulullah  saw,  yang  berkata kepada beliau dengan kasar dan  penuh kebodohan:  "Berbuat  adillah  engkau ini!"  Maka  beliau  bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi”.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar yang disampaikan   kepada   Rasulullah   saw   ialah   'Wahai Rasulullah,  bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?".
Orang   yang  mengucapkan  perkataan  itu  sama  sekali  tidak memahami  siasat Rasulullah  saw   untuk   menundukkan   hati orang-orang yang  baru  masuk Islam, dan pengambilan berbagai kemaslahatan  besar  bagi umatnya,  sebagaimana  yang   telahdisyari'ahkan  oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang diberikan  oleh  kaum  Muslimin.  Lalu bagaimana halnya dengan harta pampasan perang?.
Ketika sebagian sahabat memohon  izin  kepada  Rasulullah  saw untuk membunuh  para  pembangkang  itu,  beliau  yang  mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang  munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda :
”Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya”.

Makna ungkapan  "tidak lebih dari kerongkongan  mereka"  ialah bahwa  hati  mereka  tidak  memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka  tidak  diterangi  dengan  bacaan  ayat-ayat  itu. Mereka  sama  sekali  tidak  memanfaatkan apa yang mereka baca itu, walaupun mereka banyak mendirikan  shalat  dan  melakukan puasa.
Di  antara  sifat  yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok itu ialah bahwa : ”Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala”.
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka  bukanlah  terletak pada perasaan  dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran dan pemahaman  mereka.  Oleh  karena   itu,   mereka dikatakan dalam hadits yang lain sebagai : ”Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh”.
Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan  pemahaman yang tidak  sempurna,  tetapi  mereka  tidak mau memanfaatkan kitab Allah padahal mereka  membacanya  dengan  sangat  baik, tetapi  bacaan  yang  tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin mereka memahaminya dengan  cara  yang  tidak benar,  sehingga bertentangan  dengan  maksud  ayat  yang diturunkan oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, Imam  Hasan  al-Bashri  memperingatkan  orang yang tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya dengan  ilmu pengetahuan  dan  pemahaman.   Dia   mengucapkan perkataan yang sangat dalam artinya: "Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu”.

0 comments:

Post a Comment