Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Sunday, April 3, 2011

ILMU TASAWUF

Oleh: Ari Susanto
(Makalah s1-ku)
A.    Pendahuluan
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.

B.     Pembahasan
Ilmu Tasawwuf merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu islam selain daripada ilmu akidah dan juga ilmu syariat(fiqh). Ia merupakan suatu ilmu yang perlu dipelajari oleh setiap muslim demi kesempurnaan sesuatu ibadah yang dilakukan.
Oleh itu, ilmu tasawwuf ini harus difahami berlandaskan tuntutan Al-Quran dan Sunnah, agar kita tidak tergelincir menjadi kaum yang memahami secara melampau berkaitan ilmu tasawwuf ini seperti ada orang yang mendalaminya supaya mendapat kelebihan kelebihan tertentu seperti kebal, dapat terbang di udara, berjalan di atas air dan sebagainya. Kita tidak menolak karamah yang diberikan Allah, tetapi janganlah karamah itu yg menjadi tujuan utama.
Di dalam kesempatan ini, marilah kita sama sama meneliti beberapa kepentingan dan tujuan tujuan mendalami ilmu tasawwuf. Antara kepentingan dan tujuan mendalami ilmu tasawwuf adalah :

1.      Agar ummat islam dapat menjalani hidup dengan baik dan seimbang selaras dengan identiti mereka yang difirmankan Allah Taala (maksud): "dan demikianlah kami telah menjadikan kamu satu ummat pertengahan"(143:Al Baqarah).
Ummat pertengahan adalah ummat yang bersikap sederhana dalam urusan kehidupan,tidak terlebihdan tidak terkurang. Mereka dapat mengimbangi antara urusan dunia dan urusan akhirat.
Mereka mengambil kedua-duanya tetapi mereka mengutamakan akhirat kerana akhirat itu  "khairun wa abqo". Mereka tidak mengabaikan dunia, malah menjadikan dunia sebagai "mazraa'tul akhirat". Mereka sedar jika mereka tidak menguasai dunia nescaya ianya akan dikuasai oleh ummat lain yang akan mengancam keselamatan ummat islam dan keutuhan syariat islam itu sendiri.Sebagaimana yang dapat kita lihat pada hari ini,kuasa kuffar laknatullah sedang menggayang daging ummat islam seluruh dunia terutama di palestin, iraq, afghanistan dan sebagainya.

2.      Agar ummat islam bukan hanya ummat yang berdoa semata mata kepada Allah tanpa adanya usaha yang bersunguh sungguh. Mereka tidak semata mata berdoa tetapi mereka terus berusaha kerana mereka faham maksud firman Allah Taala ( maksud) "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang berusaha mengubahnya"(11:ArRa'd).

Mereka juga faham apa yang dilarang oleh Saidina Umar r.a "janganlah
seseorang daripada kamu duduk tanpa berusaha mencari rezeki sambil
berdoa"Ya Allah, kurniakan rezeki kepadaku" maka sesungguhnya kamu
mengetahui bahawa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak".

3.      Agar kita memahami dan mengerti tentang pengertian ibadah itu sendiri dalam lingkungan yang luas.Mereka memahami ibadat itu sebagaimana yang tersebut dalam hadis nabi s.a.w daripada Abi said Al khudri, sabda nabi (maksud) "peniaga yang benar sifatnya lagi amanah adalah bersama sama para nabi,para siddiqin dan para syuhada'" (riwayat attirmizi).
Dr. Yusuf Al Qardawi dalam bukunya " Al Ibadah Fi Islam" telah memetik apa yang ditulis oleh Syaikh Islam ibnu Taimiah dalah risalahnya "Al Ubudiah", katanya "ibadah adalah satu nama yang merangkumi bagi semua perkara yang dikasihi dan diredhai Allah daripada perkataan-perkatan dan perbuatan-perbuatan, batinnya dan zahirnya, sembahyang,zakat,puasa,haji,bercakap benar,menunaikan
amanah,berbuat baik pada ibubapa, menghubung silaturrahim,setia pada janji, menyuruh berbuat baik, baik pada jiran tetangga, anak yatim,orang musafir, orang miskin, hamba sahaya dan binatang,berdoa,berzikir,membaca dan seumpamanya itu adalah ibadah.
Begitu juga cintakan Allah dan rasulNya, takutkan Allah, kembali
kepadaNya, ikhlas beragama kepada Allah, sabar terhadap hukumanNya, syukur atas nikmatNya, redha dengan qada'Nya, bertawakkal padaNya, berharap pada rahmatNya, takut pada azabNya dan seumpama itu adalah beribadah kepada Allah."

4.      Memahami benar-benar pengertian sebenar zuhud,uzlah dan tawakkal. Dengan itu tidak menjadikan mereka lemah, tidak menjadikan mereka miskin dan makan bantuan orang lain, tidak menjadikan meraka jahil bebal dan mereka tidak dikuasai oleh orang kafir tetapi mereka menguasai orang kafir. Mereka sanggup berkorban bukan dikorbankan sebagaimana yang berlaku pada ummat islam hari ini.

5.      Dengan kefahaman yang benar terhadap tasawwuf ini berlandaskan Al Quran, Sunnah dan sirah rasul dan disusuli dengan penghayatan, meletakkan ummat islam sebagai sebaik baik ummat. Dan pada ketika itu, ummat umat lain akan tertarik dan terpesona dengan "khairun ummat" ini dan seterusnya akan berlakulah apa yang difirmankan Allah Taala (maksud) "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, kamu melihat manusia masuk ke dalam agama Allah beramai-ramai"(1-2 : An Nasr).
Sebagai kesimpulannya, kemunduran ummat islam tidak boleh
dipersalahkan kepada ulama' ulama' tasawwuf, mereka menekankan agar manusia bencikan dunia kerana mereka bimbang bila manusia memiliki dunia, mereka akan lupa daratan.Berkata Sayid Ahmad Al Badawi "orang boleh kaya dunia tetapi nabi s.a.w melarang kita cintakan dunia, seperti nabi Sulaiman a.s. dan para sahabat r.a yang kaya, kita harus menundukkan dunia, dunia tidak boleh diletak di dalam hati".
Mereka ( ulama' tasawwuf) mendesak agar beruzlah kerana bimbang terhadap mereka yang rapuh imannya, yang tiada ketahanan jiwa dan kurang takwa, kemungkinan akan terpengaruh dengan masyarakat yang sudah rosak tamadunnya. Mereka bertindak demikian untuk menyelamatkan mereka yang lemah agar tidak musnah.
Maka dari itu, untuk memiliki dunia, setiap orang islam mesti mempunyai ilmu, iman yang kuat, takwa, kesabaran, ketahanan, keikhlasan dan kesedaran betapa pentingnya akhirat berbanding dunia. Dunia hanya batu loncatan sahaja untuk ke akhirat.
Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat Ka’bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qushaeri, keenam pendapat tersebut di atas jauh dari analogi bahasa kata sufi. Sedangkan yang lebih sesuai adalah berasal dari kata suf (bulu domba). Hal ini dinisbahkan kepada kebiasaan para sufi klasik yang memakai pakaian dari bulu domba kasar sebagai simbol kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu sharaf, tasawwafa berarti memakai baju wol, sejajar dengan taqammasa yang berarti memakai kemeja.
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi mempunyai dua corak: (1) tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual; (2) tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah. Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat.
Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan. Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.
Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah.
Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam.
Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman.
Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja. Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa.
Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa. Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: (1) taubat, (2) zuhud, (3) sabar, (4) tawakkal, (5) ridha, (6) mahabbah, (7) ma’rifah, (8) fana’, (9) ittihad, (10) hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: (1) muraqabah, (2) khauf, dan (3) raja’, (4) Syauq, (5) Uns, (6) tuma’ninah, (7) musyahadah, (8) yakin. Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli (lihat gambar). Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’ = jalan utama). Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma agama.

0 comments:

Post a Comment