Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Sunday, April 3, 2011

KECERDASAN EMOSI


Oleh: Ari Susanto
A.    Pendahuluan
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku manusia ada 2 macam : tingkah laku yang dapat diamati dengan mata telanjang dan tingkah laku yang hanya dapat diamati melalui instrumen atau alat tertentu. Tingkah laku manusia yang tersembunyi itu dinamakan aktivitas psikis manusia. Sebagai seorang pendidik kita perlu mengetahui dan memahami fungsi-fungsi psikis agar dapat membantu menciptakan interaksi yang efektif dalam mempraktekkan proses pembelajaran.
Kecerdasan emosi adalah suatu himpunan kemampuan mental yang membantu kita mengenal pasti dan memahami perasaan kita dan perasaan orang lain. Kecerdasan emosi dapat meningkatkan kemampuan kita mengawal perasaan kita (Meyers, 1999).
Sebelum munculnya konsep kecerdasan emosi (bermula sejak 1990) kecerdasan lazimya dikaitkan dengan suatu kemampuan yang semula jadi, yang dilahirkan bersama seseorang itu – yang lebih dikenali sebagai IQ (Intelligent Quotient). Dalam IQ apa yang diukur adalah kemampuan seseorang menyelesaikan masalah menurut kaedah pentaakulan (reasoning). Pada tahun 1990 Dr. John D. Mayer dan Dr. Peter Salovey telah menulis satu artikel mengenai kecerdasan emosi di mana mereka telah secara formal mendefinisikan kecerdasan emosi, dan pertama kalinya menunjukkan bahwa kemampuan melaksanakan sesuatu tugas dapat digunakan untuk mengukur

B.     Pengertian Kecerdasan Emosional (EQ)
Emosi adalah suatu perasaan yang amat mendalam. Kecerdasan emosi adalah suatu himpunan kemampuan mental yang membantu kita mengenal pasti dan memahami perasaan kita dan perasaan orang lain. Kecerdasan emosi dapat meningkatkan kemampuan kita mengawal perasaan kita (Meyers, 1999). Ada dua bagian dalam kecerdasan emosi. Bagian pertama melibatkan emosi pemahaman intelektual. Bagian kedua melibatkan emosi yang menjangkau ke dalam sistem intelektual dan menghasilkan pemikiran dan ide kreatif. Bagian kedua ini amat sukar ditentukan dalam makmal tetapi dipercayai wujud.
Seandainya kecerdasan emosi itu sama seperti kemahiran yang lain maka ia terbentuk sebagiannya oleh genetik dan sebagian lagi oleh lingkungan sekitarnya. Apa yang perlu diajarkan ialah apakah maksud ataupun maknanya perasaan semua itu dan bagaimana kaitannya dengan diri kita dan orang lain.
Berikutnya , pada tahun 1995 Dr. Daniel Goleman telah menulis sebuah buku berjudul Emotional Intelligence, dan ini telah menarik perhatian banyak orang sehingga menjadi populer dan dikaji oleh banyak orang. Beberapa artikel, buku dan program televisi turut mempopularkan perkara ini – yang dianggap “sesuatu yang baru mucul dalam kehidupan manusia.”Majalah Time juga menyatakan bahwa kecerdasan emosi ini “mungkin menjadi peramal terbaik mengenai kejayaan pencapaian kehidupan seseorang.” Menurut buku Emotional Inelligence yang ditulis oleh Goleman itu, terdapat bukti kecerdasan emosi amat bekuasa bahkan lebih berkuasa daripada IQ dalam sebarang domain kehidupan manusia. Dengan kata lain, kecerdasan emosi lebih mampu mencorakkan kehidupan manusia daripada kecerdasan azali (sedia ada). Dari sudut saintifiknya, Mayer J.D. (1997), dalam bukunya Emotional Development and Emotional Intelligence, telah mendefinisikan kecerdasan emosi (emotional intelligence) sebagai upaya untuk mentaakul dengan emosi dalam empat perkara: persepsi emosi, menyepadukan emosi dalam pemikiran, memahami emosi dan mengatur emosi.
Bersama-sama dengan Dr. Salovey dan Dr. David Caruso, Dr. Mayer telah membina satu himpunan (set) 12 tugas kemampuan yang digunakan untuk menilai empat model kecerdasan emosi. Di antaranya termasuk menanyakan kepada orang untuk mengenal pasti emosi pada air muka (emotions in faces), dan mengenal pasti himpunan emosi mudah yang apabila digabungkan akan menyamai perasaan yang lebih kompleks. Dengan cara ini kecerdasan emosi dapat diukur secara sah, wujud sebagai satu kemampuan tunggal, dan berkait dengan, tetapi bebas daripada, kecerdasan yang standard.
Pada hari ini apa yang dimaksudkan dengan kecerdasan emosi telah diperluas lagi dan didefinisikan oleh penulis popular dengan beberapa cara – biasanya sebagai suatu acuan ciri-ciri personaliti, seperti “kemahiran empathi, motivasi, persistence, (Mayer J. D., (1997), in his book Emotional Development and Emotional Intelligence, defined emotional intelligence (EI) as the capacity to reason with emotion in four areas: to perceive emotion, to integrate it in thought, to understand it and to manage it.) kemesraan dan sosial.” Dr. Salovey, Dr. Caruso dan Dr. Mayer mendefinisikannya sebagai “model bercapur-campur” (mixed model) kerana ia menghimpun berbagai bagian personaliti.
Model popular kecerdasan emosi mempercayai bawa kita dapat meramalkan hasil kehidupan utama dengan menggunakan senarai angkubah (diverse list of variables). Sungguhpun terdapat perselisihan pendapat di antara kepercayaan popular dengan kepercayaan saintifik, masih ada persetujuan di antara kedua pihak itu, meluaskan lagi pemahaman kita terhadap apa yang dimaksudkan sebagai bijak atau bestari (smart).
Dr. Cary Cherniss (2001) pula mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan melihat (perceive), melahirkan (express), dan mengatur (managed) emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Dia telah memberi contoh bagaimana Martin Luther King mampu menggembleng aktivis dan pemimpin masyarakat membantu menghasilkan perubahan sosial dan masyarakat yang lebih sehat melalui kecerdasan emosi.
Hubungan di antara pengawasan emosi dengan keberhasilan kerja.
Jika kita lihat diri kita sendiri dan mengaitkannya dengan keberhasilan kita dan organisasi tempat kita bekerja maka kita akan mendapatkan bahwa peranan emosi kita amat besar. Kejayaan kita dan organisasi kita bergantung kepada kecakapan emosi dan sosial (emotional and social competencies) kita yang melaksanakan tugas yang dipertanggungjawabkan kepada kita. Sejauh mana kita mampu mempengaruhi orang lain dengan kesungguhan kita melaksanakan sesuatu tugas? Sejauh mana kita dapat mengatur reaksi emosi kita sendiri terhadap frustrasi ataupun kekecewaan yang sukar dielakkan dan kegagalan yang berlaku. Semua ini bergantung kepada kemampuan kita menanganinya dengan kecerdasan emosi.
Bagaimana Emosi Terbentuk? Penulisan mengenai kecerdasan emosi tidak ada membincangkan bagaimana emosi terbentuk. Walau bagaimanapun, menurut kajian psikologi emosi terbentuk menurut perspektif keturunan ras, budaya setempat (termasuk kepercayaan keagamaan), dan budaya sejagat menurut kontek pendidikan yang dipengaruhi oleh bidang fenominologi (phenemenological fields) seseorang.
Manusia bertingkah laku berasaskan kepada pengalaman hasil daripada jalinan pemikiran, perasaan dan tindakan. Lazimnya, apa yang dipikirkan turut mempengaruhi perasaan dan tingkah laku. Jika kita memikirkan sesuatu tugas itu susah maka perasaan kita juga turut terpengaruh – bagaimana penerimaan perasaan kita akan menentukan tindakan yang akan kita ambil. Jika perasaan kita menerimanya sebagai suatu amanah maka kita akan berusaha untuk mencari cara mengatasi kesulitan itu. Tetapi, jika perasaan kita menerima kesulitan itu sebagai suatu tugas yang berat dan yang tidak mampu dilaksanakan maka kita akan menarik diri (mengelakkan) daripada melakukannya.
Dalam hal ini pengalaman kita turut memainkan peranan utama. Jika kita berhasil melakukan sesuatu maka pengalaman itu bersifat positif dan emosi kita terhadapnya menjadi stabil. Pengalaman yang menecewakan pula akan turut menimbulkan emosi ragu-ragu untuk melakukan sesuatu – bimbang akan gagal. Kebimbangan dan takut akan gagal itu adalah suatu emosi yang boleh menghasilkan tekanan.
Emosi dikawal oleh pemikiran dan perasaan. Pemikiran positif lazimnya menghasilkan perasaan positif, dan sebaliknya, pemikiran yang negatif lazimnya menghasilkan perasaan negatif. Pemikiran positif dan perasaan positif lazimnya tidak menghasilkan tekanan dan sebaliknya menghasilkan kestabilan emosi. Yang mempengaruhi emosi lazimnya disebabkan oleh perasaan negatif yang mengahasilkan tekanan. Apabila tertekan emosi akan meningkat.
Dengan penjelasan ini maka jelaslah emosi itu bisa stabil dan tidak ada ketegangan (tension) dan tekanan (stress), dan bisa tidak stabil dan menghasilkan ketegangan dan tekanan—kerungsingan, kebimbangan dan kegelisahan. Apabila emosi tidak stabil maka tingkah laku seseorang itu juga turut tidak stabil.
Cara kita mempersepsi emosi akan menentukan tahap interaksi kita dengan orang lain. Emosi dapat dikesan dengan dua cara utama, yaitu, (i) melalui bahasa lisan, dan (ii) melalui bahasa bukan lisan.
Bahasa lisan termasuk kata-kata yang digunakan, nada suara, dan metaphor (peribahasa). Umpamanya, “Bunuh jangan lepaskan dia” membawa makna yang berbeda apabila diungkapkan dengan gaya yang berbeda. Nada suara juga boleh ditafsirkan oleh klien menurut persepsinya. Oleh karena itu, maka anda hendaklah berhati-hati memilih kata-kata dan menggunakan nada suara yang memperlihatkan anda memiliki emosi yang stabil dan dapat diterima baik oleh klien. Demikian juga sekiranya anda menggunakan metaphor  pilih dengan cermat sebelum menggunakannya kerana ada kalanya metaphor boleh disalah artikan oleh klien anda. Misalnya, apabila anda menggunakan peribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Peribahasa ini boleh digunakan tetapi penggunaannya hendaklah dengan cermat dan dengan nada suara yang lembut kerana klien boleh menerimanya sebagai suatu cemohan seolah-olah dia tidak melakukan persiapan untuk masa akan datangnya. Jadi, berkatalah dengan baik bila menggunakannya, dan cara menyampaikannya juga hendaklah sesuai dan masanya.
Bahasa bukan lisan ataupun bahasa jasmaniah (body language) juga perlu diberi perhatian. Klien kita melihat diri kita dari perspektif keseluruhan tubuh badan kita. Mimik muka kita, mata kita, gerak laku tangan kita, cara kita memandang dirinya, cara senyuman kita dan bahkan cara kita berjalan turut diperhatikan oleh klien kita. Pandangan pertama itu amat penting dan perlu diberi perhatian sepenuhnya. Di samping memakai pakaian yang kemas, bersih dan bergaya klien turut memerhatikan bahasa jasmaniah anda. Anak mata kita juga dapat dibaca dan ditafsir oleh klien, dan itulah sebabnya ada orang yang mengatakan “sekilas ikan di air, tahu jantan betinanya”. Artinya apa yang dipamerkan di luar akan turut mencerminkan yang di dalam diri kita. Anda harus ingat, tidak mudah orang yang pertama kali kita temui mempercayai diri anda.
Oleh karena itu, anda wajar memamerkan bahasa lisan dan bahasa jasmaniah yang wajar dan dapat diterima oleh klien sebagai usaha untuk mendapatkan penerimaan dan respon yang terbaik lagi positif dari klien. Ini dapat dicapai sekiranya anda mampu membina emosi yang stabil. Emosi yang stabil dapat ditunjukkan melalui kata-kata dan nada suara—bahasa menunjukkan bangsa dan bahasa jasmaniah.
Selain itu, kita juga hendaklah mampu mengetahui emosi orang lain – mereka yang berinteraksi dengan kita, yaitu, klien kita. Klien juga dapat diserap melalui bahasa lisan dan bahasa jasmaniah mereka — sama juga dengan yang telah dihuraikan di atas. Beri perhatian sepenuhnya. Fahami klien anda menurut perspektif dirinya.
Setelah mengenal pasti dan menginsafi emosi kita sendiri maka kita hendaklah menyatukan persepsi itu bagi diri kita sendiri, dan seterusnya menyatukan dengan persepsi emosi mereka yang berinteraksi dengan kita.
Apabila kita mampu memahami emosi kita sendiri yang telah disatukan dan emosi orang lain maka akan menghasilkan komunikasi (interaksi) yang bermakna dan mesra dengan orang lain.
Dengan menguasai emosi yang stabil maka kita dapat menjalin hubungan yang berempathi. Berempathi bererti kita dapat merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang berinteraksi dengan kita. Perhubungan yang berempathi dapat menarik perhatian mereka yang berinteraksi dengan kita.

C.    Meningkatkan Kecerdasan Emosional (EQ)
Membahas soal emosi maka sangat eratan kaitannya dengan kecerdasan emosi itu sendiri dimana merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadap frustasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, dan lain-lain) dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan mampu mengendalikan stres.
Kecerdasan emosional juga mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial. Ketrampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosi antara lain misalnya kemampuan untuk memahami orang lain, kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi, kerjasama tim, membentuk citra diri positif, memotivasi dan memberi inspirasi dan sebagainya.
Ketrampilan menjaga emosi antara lain :
1.      Mengenali emosi diri.
Ketrampilan ini meliputi kemampuan Anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya Anda rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa bersalah, kesepian.
2.      Melepaskan emosi negatif
Ketrampilan ini berkaitan dengan kemampuan Anda untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri Anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi seringkali justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta dapat menyebabkan stres. Jadi, selama Anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda justru Anda tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri Anda. Solusinya, lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga Anda maupun orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul.
3.      Mengelola emosi diri sendiri
Anda jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk. Emosi adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu Anda mencapai kesuksesan.
Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu: pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda.
Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
4.      Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati--adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
Ketrampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
5.      Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
6.      Mengelola emosi orang lain
Jika ketrampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia.
Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.
7.      Memotivasi orang lain
Ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal.
Jadi, sesungguhnya ketujuh ketrampilan ini merupakan langkah-langkah yang berurutan. Anda tidak dapat memotivasi diri sendiri kalau Anda tidak dapat mengenali dan mengelola emosi diri sendiri. Setelah Anda memiliki kemampuan dalam memotivasi diri, barulah kita dapat memotivasi orang lain.
Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Mayer dan Salovey (1993) mengungkapkan ada lima ranah kecerdasan emosional di dalam bahasa, yaitu ( 1) mengenali emosi sendiri, (2) mengatur emosi, dan (3) memotivasi (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan dengan orang lain (1) Mengenali Emosi Sendiri Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.

D.    Menguasai Kecerdasan Emosi
“Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan cara yang baik, bukanlah hal mudah”. Aristoteles The Nicomachean Ethics
Mampu menguasai emosi, sering kali orang menganggap remeh pada masalah ini.
Padahal, kecerdasan otak saja tidak cukup menghantarkan seseorang mencapai kesuksesan. Justru, pengendalian emosi yang baik menjadi faktor penting penentu kesuksesan hidup seseorang.
Kecerdasan emosi adalah sebuah gambaran mental dari seseorang yang cerdas dalam menganalisis, merencanakan dan menyelesaikan masalah, mulai dari yang ringan hingga kompleks. Dengan kecerdasan ini, seseorang bias memahami, mengenal, dan memilih kualitas mereka sebagai insan manusia. Orang yang memiliki kecerdasan emosi bisa memahami orang lain dengan baik dan membuat keputusan dengan bijak. Lebih dari itu, kecerdasan ini terkait erat dengan bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan apa yang ia pelajari tentang kebahagiaan, mencintai dan berinteraksi dengan sesamanya. Ia pun tahu tujuan hidupnya dan akan bertanggung jawab dalam segala hal yang terjadi dalam hidupnya, sebagai bukti tingginya kecerdasan emosi yang dimilikinya.
Kecerdasan emosi lebih terfokus pada pencapaian kesuksesan hidup yang tidak tampak. Kesuksesan bisa tercapai ketika seseorang bisa membuat kesepakatan dengan melibatkan emosi, perasan, dan interaksi dengan sesamanya. Terbukti, pencapaian kesuksesan seperti materi tidak menjamin kepuasan hati seseorang.
Di tahun 1990, Kecerdasan Emosi (yang juga dikenal dengan sebutan “EQ”), dikenalkan secara global. Dinyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengatasi dan menggunakan emosi secara tepat dalam setiap bentuk interaksi lebih dibutuhkan dari pada kecerdasan otak (IQ) seseorang. Mari kita lihat bagaimana emosi bisa mengubah segala keterbatasan menjadi hal yang luar biasa…
Seorang miliarder terkaya di Amerika Serikat, Donald Trump, adalah contoh apik dalam hal ini. Pada tahun 1980 hingga 1990, Trump dikenal sebagai pengusaha real estate yang cukup sukses, dengan kekayaan pribadi yang diperkirakan sebesar satu miliar US dollar.
Dua buku berhasil ditulis pada puncak karirnya, yaitu The Art of The Deal dan Surviving at the Top. Namun jalan yang dilalui Trump tidak selalu mulus…ingat depresi yang melanda dunia di akhir tahun 1990? Pada saat itu harga saham properti pun ikut anjlok dengan drastis. Hingga dalam waktu semalam, kehidupan trump menjadi sangat kebalikan trump yang sangat tergantung pada bisnis propertinya ini harus menanggung hutang sebesar 900 juta dollar AS! Bahkan Bank Dunia sudah memprediksi kebangkrutannya. Beberapa temannya yang mengalami nasib serupa berpikir bahwa inilah akhir kehidupan mereka, hingga benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Di sini kecerdasan emosi Trump benar-benar diuji. Bagaimana tidak, ketika ia mengharap simpati dari mantan istrinya, ia justru diminta memberikan semua harta yang tersisa sebagai ganti rugi perceraian mereka. Orang-orang yang dianggap sebagai teman dekatnya pun pergi meninggalkannya begitu saja. Alasan yang sangat mendukung bagi Trump untuk putus asa dan menyerah pada hidup. Namun itu tidak dilakukannya.

E.     Kecerdasan Emosional Remaja 
Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan  terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga  kesulitan pada masa tersebut dapat  menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya  dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya. Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain,  remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja  mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.

1 comments: