Membaca berarti membuka jendela dunia... Banyak membaca berati banyak ilmu.. Banyak ilmu berarti banyak tahu... Tahu bagaimana cara memandang dan menjalani kehidupan ini... Hidup adalah bekerja keras, keajaiban tidak akan datang begitu saja. Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, apa yang harus dirubah? Yang harus dirubah adalah apa yang ada didalam diri mereka sendiri, yaitu state of mind and role of thinking->Bagaimana cara kita berpikir, Cara kita memandang kehidupan, dan Cara kita mengatasi persoalan.

Tuesday, April 5, 2011

FILSAFAT ISLAM


Oleh: Ari Susanto
(Makalah s1-ku)

A.    Pendahuluan
Dewasa ini menjadi domain wacana dan tema diskusi yang kuat di kalangan pemikir filsafat di Timur maupun di Barat. Setidaknya hal ini terjadi pada abad ke-19 hingga kini. Sebut saja orang-orang seperti Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, HAR. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Joel Kraemer, dan belakangan Oliver Leaman serta beberapa ahli filsafat muslim yang ada di Eropa lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens. Adapun sebelumnya, wacana filsafat Islam seringkali tidak terjamah bahkan mungkin hampir ditiadakan baik itu di kalangan pemikir Barat, maupun dalam sebagian tradisi Islam sendiri. 
Filsafat Islam dipandang sebagai sebuah objek yang asing dan serangkaian ilmu import yang harus dilawan dan diperlakukan sebagai anak yatim oleh para sarjana Barat terutama para sejarawan kuno. Referensi yang selama ini dirujuk oleh para sarjana Barat ketika menghubungkan antara Kebangkitan (Renaissance) di Eropa adalah tradisi keilmuan Yunani yang dikenal dengan zaman logos. Hal ini sangat kuat diyakini terutama dalam cara pandang tentang kehidupan yang dilandasi oleh pemikiran filosofis Yunani. Selalu saja rujukan awal yang dicari adalah para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Memang hal ini bukanlah sebuah kesalahan fatal. Namun ketika hal tersebut tidak pernah dikaitkan dengan kejayaan yang pernah diraih oleh Islam –dan kita tahu bahwa Islam sangat banyak menyumbangkan pemikiran dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan beberapa bidang lainnya–, ada keterputusan-sejarah yang pada akhirnya menyebabkan kerancuan-ilmiah dalam memandang filsafat secara umum terutama dalam filsafat Barat pasca Renaissance. Karena pada dasarnya ada kotinuitas-historis yang tidak bisa kita abaikan.
Ketika Islam mengalami kejayaan peradaban pada abad ke-9 hingga abad ke-11, dunia Islam sendiri mengakui adanya andil besar gelombang helenisme yang lebih awal dalam mengais kemajuan peradaban. Dalam hal terakhir ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles, dan beberapa tokoh lain, coba ditafsirkan oleh para filosof muslim awal seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Hasan Hanafi mencoba mendongkrak asumsi-asumsi salah yang dilancarkan para pengkaji filsafat Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan orientalis. Menurut Hanafi, selama ini mereka menduga bahwa para filosof muslim hanya melakukan pembacaan terhadap filsafat Yunani, kemudian mengikuti, melakukan anotasi, dan meringkas karya para filsuf Yunani, serta mencampuradukkannya dengan filsafat Islam, dengan memperburuk pemahaman tentang konsep-konsep filosofis.
Namun saya kira, tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur-Dekat sebagai pendahulunya. Secara genuin, Joel L. Kraemer menjelaskan bahwa filosof-filosof Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, umpamanya, dikatakan telah belajar kepada Luqman “sang filosof” (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud; atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisi “filosofis” yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.
Ada khazanah yang cukup berharga dari temuan-temuan pada filsafat Islam yang selama ini tidak diakui oleh filosof dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal Islam sendiri memiliki tradisi keilmuan yang begitu kokoh, terutama pada abad pertengahan. Atau mungkin sebenarnya mereka banyak mengambil khazanah pemikiran filsafat Islam, namun mereka enggan untuk mengakui keberadaannya secara ontologis dalam rentetan sejarah peradaban dunia.

B.     Pembahasan
Dari segi bahasa, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya Cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar katanya, Filsafat mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.
Adapun pengertian filsafat dari segi istilah para ahli, adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian muncullah apa yang disebut dengan filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan lain sebagainya
Filsafat dalam FPI berfungsi menelaah kahekat dan fenomina pendidikan islam, filsafat menggunakan kaidah-kaidah berpikir yang menjadi ciri khasnya, yaitu kritis, sistematis, metodis, dan koheren.
Kritis disini, berarti semua pernyataan atau penegasan yang diberikan di dalamnya harus mempunyai dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Anggapan-anggapan yang ada tidak diterima begitu saja tanpa diselidiki alasan atau dasar kebenaran-kebenarannya.
Ciri-ciri utama berpikir kritis adalah bahwa tidak menerima dan atau menolak begitu saja temuan-temuan pemikiran yang sudah ada. Seorang yang berpikir kritis selalu berupaya mendekati suatu objek pemikiran dengan sangat hati-hati. Ia tidak menolak sesuatu kecuali dengan argumentasi-argumentasi yang masuk akal.
Begitu pula sebaliknya, ia tidak akan menerima begitu saja sesuatu tanpa alasan yang jelas. Seorang yang kritis adalah orang yang menerima atau menolak sesuatu dengan alasan yang jelas. Baginya, kebenaran tidak identik dengan banyak atau sedikitnya orang yang mendukung atau menolak.
Kebenaran akan tetap merupakan kebenaran, meskipun tidak banyak orang yang mendukung. Begitu pula sebaliknya, kebatilan akan tetap merupakan kebatilan, meskipun banyak orang melakukan kebatilan itu sendiri.
Sedangkan berfikir sistematis berarti ada suatu ide dasar yang menyeluruh dan mempersatukan semua unsur-unsurnya sehingga pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat yang dikemukakan jalin menjalin secara runtut. Metodis, orang mempergunakan suatu metode atau cara pendekatan tertentu. Koheren, berarti ada pertalian logis antara pemikiran-pemikiran atau pernyataan-pernyataan yang diberikan.
Filsafat dapat dibedakan dari ilmu-ilmu yang lain dan atau yang membuat suatu pengetahuan dapat disebut filosofis adalah cirinya yang bersifat menyeluruh (comprehensive) dan mendasar (radical). Apabila ilmu-ilmu lain merupakan pengetahuan kritis, metodi, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan, filsafat bermaksud untuk menyelidiki seluruh kenyataan.
Kalau ilmu-ilmu lain secara metodi bermaksud memaparkan dan memberikan penjelasan yang sifatnya empiris dan kodrati, filsafat berhajat untuk mencari penjelasan yang mendasar dan berusaha untuk memasuki dunia meta-impiris dan adi kodrati sejauh itu dapat ditangkap oleh akal budi. Filsafat bermaksud untuk mengerti secara mendalam semua hal yang timbul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia.
Pendidikan islam (sebagai objek yang dipikirkan dalam FPI) pada hakekatnya adalah pendidikan yang dibangun (konsep-konsep teoritik) dan dilaksanakan (praktek-implementasi) berdasarkan al-Qur¢an dan al-Hadits, serta bertujuan untuk menciptakan manusia yang senantiasa taat, tunduk, dan patuh kepada Tuhan (Allah swt.) sesuai syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang philosophis. Yaitu :
Ø      Pertama harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti.
Ø      Kedua harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.
Ø      Ketiga harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.
Adapun pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.
Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Dari pengertian filsafat dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat Islam, adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakikat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya Filsafat Islam itu dalah Filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat orang lain.
Pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama Aleksander) diMesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran. Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dankekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk-Islam.Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah:

1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan 
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti 
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu.Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.


2. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur 
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. l-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars).
Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.
Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak.
Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet.Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya.
Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X. Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi 
melalui Akal atau malaikat.

Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik al-Ghazali.
Menurut Majid Fakhry, tradisi filsafat bermula muncul di pesisir Samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Sedangkan bagian Timur ini merupakan wilayah Asia.
Oleh karenanya dalam dunia filsafat terkenal adanya istilah “kearifan timur” sebagai the ancient wisdom, karena memang awal mula munculnya tradisi filsafat adalah dari dunia Timur. Lalu dari Asia Minor yang berada di Barat Asia berpindah ke Aegen –yang bagian Utara dan Baratnya adalah daratan Yunani. Beberapa abad lamanya, tanah Yunani inilah yang menjadi tempat bersemainya filsafat.
Tradisi filsafat  mulai merambah kembali ke daerah Timur ketika Iskandar Agung berkuasa sekitar 332 SM di Iskandariah, dan memuncak pada 529 M. Iskandariah merupakan bagian dari Mesir saat ini. Lalu ketika Mesir takluk pada bangsa Arab pada 641 Munasabah di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash, Iskandariah tetap menjadi kota budaya yang mengembangkan tradisi filsafat, sains, dan kedokteran.
Perdebatan rasional-filosofis dalam tradisi Islam sebenarnya sudah dimulai pada permulaan abad munculnya Islam, yakni sekitar akhir abad ke-6 dan ke-7 yang diawali oleh aliran-aliran teologis dalam Islam, terutama aliran Mu’tazilah. Namun pembahasan yang mereka lakukan hanya terbatas pada permasalahan ketuhanan dalam bingkai agama. Permasalahan lain seperti realitas alam, manusia, dan kehidupan belum banyak mereka bicarakan dengan pemikiran yang radikal.
Pengaruh filsafat Yunani yang cukup signifikan terjadi pada corak pemikiran filosofis Islam, berlangsung melalui proses penerjemahan, transferensi, dan anotasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh filosof muslim. Banyak sekali buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan cukup mempengaruhi corak pemikiran para filosof muslim, di antaranya Timaeus karya Plato; Analytica Posteriora, Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption dan Nicomachean Ethics karya Aristoteles; Isagoge karya Porphyry, dan Synopsis of the Ehtics karya Galen. Semua itu dilakukan pada masa kekuasaan ‘Abbasiyah.
Tradisi penulisan filsafat secara sistematis baru dimulai pada abad ke-9 di kawasan masyriq Islam, oleh Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (w. 866 M). Lalu berlanjut pada beberapa tokoh yang semakin hari menampakkan kegemilangan filsafat Islam, seperti Abu Bakar al-Razi (w. 925/932/935 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Ibn Miskawaih (w. 1030 M), dan al-Ghazali (w. 1111 M).
 Setelahnya, filsafat Islam pun berkembang di wilayah maghrib dengan beberapa tokohnya seperti Ibn Masarrah (w. 931 M), Ibn Bajjah (w. 1139 M), Ibn Thufail (w. 1185), Ibn Sab’in (w. 1270 M) dan berpuncak pada Ibn Rusyd (w. 1198 M) serta Ibn Khaldun (w. 1406 M).
Selama ini berkembang asumsi ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat dan para sejarawan, bahwa kajian filsafat Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rusyd.
Menurut Mustamin al-Mandary asumsi semacam ini, pertama lahir dari studi-studi filsafat Islam yang cenderung terlalu mengagungkan (atau menyimpulkan) bahwa puncak filsafat Islam terletak pada perdebatan filosofis-historis (dialektis) antara al-Ghazali (1059-1111 M) yang menyerang Ibn Sina sebagai pendiri mazhab Parepatetik dalam filsafat Islam, dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M). Sehingga ketika keduanya wafat, maka tradisi filsafat Islam diasumsikan mati.
Kedua, sebagian besar pengamat filsafat menganggap bahwa “dialektika” filosofis antar Ibn Sina-al-Ghazali-Ibn Rusyd merupakan sebuah pertentangan. Padahal jika kita cermati secara jeli, dialektika yang berlangsung antara mereka merupakan sebuah upaya untuk mempertegas arah dan posisi filsafat Islam, dan pada saat yang sama terdapat nilai-nilai yang mesti dipertegas antara nilai-nilai keIslaman dan nilai-nilai filosofis.
Kritik al-Ghazali terhadap Ibn Sina dan kaum Parepatetik mesti kita dudukkan sebagai usaha besar untuk merubah kecenderungan filsafat Islam, dari klaim-klaim menggelitik tentang filsafat Islam ( filsafat Islam hanyalah sebagai filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ) ke arah filsafat Islam yang khas. Sedangkan usaha kritik-balik yang dilancarkan oleh Ibn Rusyd adalah sebuah upaya bahwa kaum muslim harus benar-benar serius dalam mengedepankan nilai-nilai filosofis dalam filsafat Islam secara mandiri.
Ketiga, pada umumnya, para pengamat sejarah filsafat Islam cenderung melupakan adanya sinergitas dan kontinuitas tradisi filsafat Islam di belahan dunia muslim lainnya. Yakni ketika mereka membatasi kajian filsafat Islam pada tokoh-tokoh dari al-Kindi sampai al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
Pandangan ahistoris semacam ini mesti lekas kita tolak, karena pada kenyataannya filsafat Islam terus berkembang terutama dikembangkan di sebagian besar wilayah timur dan beberapa kecil di maghrib. Ada beberapa tokoh yang terus melanjutkan tradisi filosofis dalam Islam meski lahir dengan berbagai perbedaan coraknya, seperti Syihab al-Din Suhrawardi (w. 1191 M) yang mendirikan mazhab filsafat Illuminasionisme, Muhy al-Din Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) yang memiliki corak teosofi/’irfani (gnostisisme) di maghrib.
Ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi ini ternyata lebih berkembang di daerah Persia dengan tokoh-tokohnya semacam Shadr al-Din Qunawi (w. 1274 M), Quthb al-Din al-Syirazi (w. 1311 M). Bahkan sampai ke Turki melalui Jalal al-Din Rumi (1273 M). Tradisi Illuminasionisme berkembang melalui Syahrazuri (w. 1288 M), Ibn Kammunah (w. 1284 M), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385 M), dan Mir Damad (w. 1631 M). Mazhab filsafat peripatetik terus berlanjut melalui Nashir al-Din al-Thusi (w. 1274 M).
Puncak dari semua aliran filsafat ini berada di tangan Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1637 M) yang mencoba memadukan semua aliran filsafat Islam yang ada sebelumnya di bawah nama al-Hikmah al-Muta’aliyah atau Teosofi Transenden. Setelahnya tradisi filsafat Islam tidak pernah padam bahkan sampai abad modern dewasa ini.

C.    KESIMPULAN
Fenomina pendidikan islam, filsafat menggunakan kaidah-kaidah paradigma berpikir yang menjadi ciri khasnya, yaitu kritis, sistematis, logis, universal, metodis, koheren, dan radikal.

0 comments:

Post a Comment